Bersembunyi
hide by unsplash.com |
Setiap kita memiliki rahasia. Setiap rahasia memiliki ruang persembunyiannya sendiri-sendiri. Tak ayal, jika ditelisik dengan seksama, idealnya setiap kebaikan akan (tetap) terjaga dari menyembunyikan rahasia tersebut. Ya, bisa jadi, berupa kelebihan, selebihnya dominan pada kekurangan.
Menyimpan rahasia berupa kelebihan (berkonotasi positif) bagian dari cara mengilangkan hasrat ingin dilihat. Ketaktertarikan pada sanjugan pihak lain atas apa yang tertampakkan darinya. Keengganan dsuapi tepuk tangan. Juga ketaksukaan pada dielu-elukan yang kerap menuliskannya dari menerima nasehat. Prosesi ini lahir dari menyembunyikan “rahasia baik”. Dibentuk oleh hati yang tulus--tanpa dijejali kepentingan sementara yang menjadi muara dari beragam kecewa.
Oleh karenanya--sebaliknya, mengumbar kelebihan adalah bagian dari cara terhalus agar terlihat. Sementara keinginan dilihat, biasanya, berlanjut pada ambisi dipuha-puji. Sedangkan raupan puja-puji kerap melahirkan tinggi hati. Lalu, tinggi hati berpotensi membeku dan keras. Berujung pada kesombongan. Berbalutkan keangkuhan, pongah, dan congkak.
Sederhana sekali, penyakit-penyakit termaksud, lahir dari ketakcakapan menyembunyikan “rahasia baik”. Pun dari keinginan terumbarnya kelebihan yang Allah SWT anugerahkan kepadanya. Baik berupa kemampuan finansial, skill, intelegensia, juga lain hal yang memiliki standar layak untuk dibanggakan.
Padahal, jika sejenak saja tersadarkan bahwa anugerah apa pun adalah titipan. Bahwa titipan adalah ladang amal yang luas untuk ditanami nilai-nilai berkebaikan. Bahwa ritualitas ibadah akan tersia-siakan jika ditaburi keinginan dilihat--yang dalam Islam disebut dengan riya’. Maka, seharusnya, kecakapan menyimpan “rahasia baik” dimiliki oleh setiap kita yang berkeinginan menjadi baik.
Selanjutnya, menutup “rahasia buruk” yang terhimpun dalam setiap kekuragan kita. Perilaku yang berlawanan dengan norma dan etik yang dipegang oleh masyarakat--apalagi terkait dengan aturan syara’--itulah kekurangan yang dimaksud. Ini yang juga tampak sulit. Namun, sialnya, justru diri sendirilah yang membuat kesulitan itu tampak melipat setiap detiknya.
Ya, bayangkan, kita jungkir balik membentengi kekurangan sendiri, tapi di saat yang sama dengan mudahnya kita meruntuhkan benteng orang lain--yang juga sedang jatuh bangun menutupi kekurangannya. Kita lupa, bahwa sekali kekurangan--dalam islam hal termaksud disebut dengan aib--orang lain terkatakan di lisan ita, di saat yang sama seribu langkah dari aib kita mendekat menuju terbongkar.
Lucunya, saat benteng yang kita bangun runtuh, aib kita terbuka. Kekurangan (berkonotasi negatif) tertampak. Justru, kita sibuk mengkambing-hitamkan pihak lain. Tak sadar, bahwa apa yang terjadi adalah imbas dari apa yang kita lakukan. “man taraka al-isytighaala bi ‘uyuubi ghairihii, muniha al-ishlaaha bi ‘uyuubi nafsihii--barang siapa yang meninggalkan sibuk dari mengumbar aib orang lain, maka ia akan diberikan kebaikan (terselamatkan) dari aibnya sendiri,” sabda Rasulullah Saw dalam salah satu hadisnya.
Padahal, Allah-lah Maha Penutup Segala Aib, kekurangan, “rahasia buruk”, kesalahan, pengkhianatan, dst., ditutupi Allah dengan sedemikian rapatnya--sembari menunggu apakah ditaubati atau dipelihara untuk tidak dihentikan. Jika ditaubati, benteng yang kita bangun terlindungi dengan kokoh. Nnamun, apabila “dinikmati”--diantaranya dengan adanya upaya meruntuhkan benteng orang lain, maka tak segan dengan seketika Allah runtuhkan pula benteng yang dibangunnya,
‘man lam yastaghfirillahi fii kulli yaumin marrataini faqad dhalama nafsahu---barang siapa yang tidak beristigfar (bertaubat) dua kali dalam sehari, maka ia benar-benar sudah mendhalimi dirinya sediri,”sabda Rasullullah Sawa dalam salah satu hadistnya terkait keutamaan taubat. Berangkat dari hadis tersebut, menyembunyikan “rahasia buruk” dengan bertaubat--tanpa mengulang juga tak disertai mengumbar “rahasia buruk” pihak lain--adalah cara terbaik yang diajarkan Rasulullah Sawm tentang menutup rapat dan menghapus semua “rahasia buruk” yang selama ini kita simpan. Apabila tidak? Fawad dhalama nafsah--menyakiti diri sendiri, dengan membiarkan aibnya terumbar dengan sendirinya.
Setiap kita memiliki rahasia. Setiap rahasia memiliki ruang persembunyiannya sendiri-sendiri. Tak ayal, jika ditelisik dengan seksama, idelanya setiap kebaikan akan terjaga dari menyembunyikan rahasia tersebut. Bisa jadi, berupa kelebihan, selebihnya dominan pada kekurangan. Ya, ternyata selama ini, hidup persembunyian ke persembunyian lainnya. Astaghfiruka wa atuubu ilaika. Allahumma shalli’alaa Sayyidinaa Muhammad wa ‘alaa aalihii wa shahbihii ajmaiin.[]
Ditulis oleh, Kiki Musthafa dari Buletin Masjid Agung Kota Tasikmalaya