Membungkus Narsisme Dengan Pesan Kebaikan
Note: Membungkus atau dalam diksi lain seperti membalut, mencampurkan atau mengabungkan narsisme dengan pesan kebaikan.
Di media sosial ada banyak pengguna dengan berbagai macam karakter dalam memanfaatkan media sosialnya. kali ini kanda kerucutkan pada satu media sosial: Instagram.
Sudah barang tentu Instagram atau orang cakap “IG” ini adalah media sosial yang menitik beratkan pada visual. Sebab yang menjadi andalannya adalah konten berupa foto dan video. Teks berupa caption hanya sebatas pemanis.
Berbeda dengan media soaial macam Facebook dan Twitter. Keduanya lebih prefer pada konten berbasis teks berupa update status atau tweet. Walaupun keduanya juga mendukung konten foto dan video sih.
Namun, khusus pada Instagram, daya tarik utamanya adalah konten foto dan video. Jadi formulanya, ketika kita ingin mendapat banyak love/like di Instagram, kita harus meng-upload foto atau video yang menarik. Foto yang membosankan, pecah, buram, dan tidak memanjakan mata tidak akan mendapat like yang banyak. Kecuali kamu anaknya Raffi Ahmad.
Foto atau video menarik bisa dinilai dari konten apa yang kita tampilkan. Misalnya Selfie. Orang cantik, ganteng kemungkinan bisa dapat like banyak. Sebaliknya, yang kurang cantik, ganteng harap bersabarlah bila like nya sedikit. Terkecuali ada sesuatu yang menjual dari diri kita, seperti kamu itu artis, anak artis, anak presiden, buronan KPK, Rentenir, ibu kost galak dan lain sebagainya. Atau kita bisa menampilakan konten yang menarik seperti yang inspiratif atau lucu.
Intinya (sekali lagi) harus ada sesatu yang bisa kamu ‘jual’ kepada followersmu.
Dalam hal lain, ada pengguna instagram yang cukup idealis. Mereka (katanya) main instagram bukan untuk narsis tapi untuk berbagi pesan kebaikan. Maksudnya mereka ingin memberi manfaat melalui postingan-postingan gambar yang menginspirasi.
Pengguna Instagram yang dianggap idealis tersebut misalnya seperti seorang muslimah atau ukhti yang dalam agama islam dianjurkan untuk tidak mempertontonkan aurat kepada yang bukan muhrimnya, atau menonjolkan kecantikan demi mendapat pujian dari followers yang bahkan tidak mereka kenal.
Sekarang ini banyak sekali muslimah-muslimah yang jadi selebgram atau artis instagram yang cantik-cantik, comel-comel, unyu-unyu nonjok. mereka ber-OOTD, selfie sanah, selfie sinih dengan ditambahi caption kata-kata mutiara, kata kata penyemangat, atau sajak-sajak baper. Bagi mereka mungkin semua itu membawa kebahagian tersendiri.
Mereka para ukhti ada yang berdalih dengan alasan hanya ingin memberikan contoh wanita muslimah yang baik, dengan memperlihatkan busana syar’i-nya atau bahkan niqob/cadar. Dengan harapan wanita yang selama ini tidak berhijab bisa mengikuti gaya berpakaian mereka. Hal itu bisa dibenarkan. Namun secara tidak langsung mereka pun mengajarkan bagaimana cara narsis di instagram. Sebab, ketika mereka memutuskan untuk meng-upload sebuah foto yang menampilkan diri mereka dalam busana hijab, maka muslimah yang tertarik memakai hijab itu ada 3 kemungkinan:
Poin Pertama, ia tertarik pakai hijab karena merasa diingatkan dan akhirnya merasa terpanggil untuk mengikuti perintah agama.
Poin Kedua, mereka ingin berhijab karena berpikir jika mereka berhijab, mereka masih bisa tampil modis.
Poin Ketiga, mereka yang berpikir bisa mendapatkan poin pertama dan poin kedua yaitu memenuhi kewajiban seorang muslimah sekaligus bisa tampil modis seperti muslimah selegram tersebut.
Wanita muslimah yang berada pada poin kedua dan ketiga mereka akan melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan selegram muslimah dengan ‘ikut-ikutan’ ber-OOTD ria, atau selfie cekrak-cekrek.
Apa cara yang dilakukan seorang muslimah selebgram ini salah? Tidak salah.
Hanya saja, kita harus ingat bahwa Instgram ini tempatnya makhluk-makhluk pecinta visual (sangat menyukai penampilan fisik). satu hal dampak negatif bagi kanda sendiri adalah Instagram itu bisa membuat ketagihan yang berlebihan pada si penggunanya.
Ketika ada yang nge-like atau mengomentari foto/video kita dengan bumbu-bumbu pujian, atau tanggapan positif maka wajar kita merasa senang dan bangga. Ya, semua manusia pada kodratnya memang suka dipuji. Sangat manusiawi. Perasaan itulah yang memacu hormon serotomin (pemicu rasa senang) sampai ketagihan. saat ketagihan maka si pengguna Instagram tersebut akan meng-upload video dan fotonya lagi dan lagi.
Yang memancing rasa senang dari bermedia sosial itu fitur Like dan Komentar. Dua hal itu yang menjadi sumber ketagihan dari pengguna Instagram. Coba saja pihak instagram menghapus fitur like dan komentar, kanda yakin instagram akan sepi peminat. Ditambah lagi sekarang banyak fitur tambahan seperti kirim pesan langsung sampai fitur Story yang menirut fitur andalan dari Snapchat.
Untuk orang idealis sebenarnya mereka tidak benar-benar berniat membagikan pesan kebaikan kepada banyak orang. namun, mereka mencampurkan antara narsisme dan (niat baik) mereka yang ingin memberikan pesan kebaikan secara bersamaan. Tapi output yang mereka dapat juga memunculkan keduanya Maka seterusnya pun akan seperti itu.
Narsis dan niatan baik untuk berbagi pesan kebaikan kepada pengguna instagram akan menjadi sesuatu yang abu-abu alias sulit dibedakan. Orang berbuat baik dengan menolong orang kelaparan lalu di abadikan dengan sebuah foto atau video kemudian di upload di instagram. Itu bisa dikatakan narsis yang berujung ria (pamer) atau bisa jadi maksudnya agar memberi pesan kebaikan kepada orang-orang untuk bisa tergerak hatinya menolong sesama.
Nah, kita tidak tahu apakah seseorang ini niatnya ria atau hanya ingin berbagi pesan kebaikan (memberi contoh yang baik). kembali lagi kepada niat kan? Tapi sayangnya niat itu tidak bisa dilihat. Terkadang dimulut berkata niatnya baik, belum tentu di hati niatnya seperti itu. Who knows?
Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah membungkus narsisme dengan berbagi pesan kebaikan itu salah? kanda tak tahu. Silahkan tanya saja pada rumput yang bergoyang.