Wahai Mahasiswa Apatis (Part 2)
via pixabay.com |
Sebelumnya, baca: Wahai Mahasiswa Apatis (Part 1)
Ternyata menjadi apatis tidaklah buruk. Setidaknya untuk kepentingan jangka pendek, ketika kebahagian mahasiswa baru adalah kebebasan yang hakiki. Kebebasan dari belenggu beban deadline. Dengan kondisi sekarang, ingin rasanya menjadi apatis. Kembali pada kehidupan seorang pecundang.
Ternyata menjadi apatis tidaklah buruk. Setidaknya untuk kepentingan jangka pendek, ketika kebahagian mahasiswa baru adalah kebebasan yang hakiki. Kebebasan dari belenggu beban deadline. Dengan kondisi sekarang, ingin rasanya menjadi apatis. Kembali pada kehidupan seorang pecundang.
Di sebuah kampus antah berantah, di lingkup kecil dalam kehidupan kampus. Ada sebagian mahasiswa yang berbangga diri bisa aktif di organisasi. Ada sebagian lagi yang tertatih-tatih karena merasa dijadikan kacung organisasi. Kegiatan yang awalnya tampak menyenangkan, berubah menjadi beban kuliah gaya baru.
Siapa saja yang merasakan hal ini?
Sebagian besar dari mereka adalah para mantan apatis yang ingin berubah jalan hidup mereka. Melalui jalur organisasi, mereka membayangkan akan menjadi sosok non-apatis berbudi luhur, cakap dan punya “nama” di mata mahasiswa lain.
Sayangnya mereka belum tentu lebih baik dari seorang mahasiswa kupu-kupu. Mereka lupa kalau ada perjalanan panjang yang perlu dilewati. Hal-hal yang tak pernah mereka lakukan dulu, sekarang mereka harus melakukannya. Lelah akan menjadi makanan sehari-hari dan malas akan jadi lauk-pauknya.
Ini adalah masa kritis dari masa peralihan apatis menuju non-apatis. Kanda yakin banyak yang tumbang lebih dulu di tengah jalan, namun ada yang terus bertahan meneruskan perjalanan walaupun dengan sebelah kaki.
kenapa sebelah kaki? Karena sebelah kaki lagi berusaha menahan gerak kaki lain. Menggoda kaki lain untuk berhenti. Akhirnya mereka tampak seperti orang pincang. Berjalan lambat, bahkan langkahnya tak terlihat. Bila hayati melihat dari kejauhan, mereka tampak seperti tidak berjalan. Namun percayalah, mereka sedang berusaha.
Mereka yang dulu sempat bersumpah serampah kepada mahasiswa apatis, kini mulai menyadari bahwa begitu menyenangkannya jadi mereka. Beban kehidupan berkurang. Mereka bisa melakukan apa saja yang mereka mau. Tidak perlu dikejar deadline, tidak perlu kesana-kemari mengurus acara organisasi, meghadiri rapat atau sekedar kopi darat dengan anggota organisasi.
Si mantan apatis itu tidak bisa tertawa bebas lagi. Mulutnya tersumpal egonya sendiri. Mereka pikir keadaannya akan lebih baik, namun tak ada jaminan untuk itu. Bila kanda boleh berkata kasar, hayati pasti bisa merasakan betapa tersiksanya mereka. Ada beban berupa sanksi sosial yang perlu dipikul kuat-kuat jika mereka berani buat “macam-macam”. Sesekali beban itu terjatuh. Tapi tak masalah.
Semakin sering, beban itu akan berubah menjadi harapan yang tak pernah diinginkan. Mereka akan memutuskan untuk keluar dari organisasi. Peduli atau tidak itu keputusan yang sulit. Mungkin mereka akan melakukannya secara diam-diam, sedikit demi sedikit, cepat atau lambat, dan foillaaaa!!! Mereka kembali menjadi mahasiswa apatis.
Dan mimpi buruk itu akan terjadi. entah kapan.
Dibawah tembok yang rindang, 16 Juni 2017
Tidak ada komentar: