Menguji Data dan Realitas
Tidak sedikit pihak sering memperdebatkan keabsahan sebuah data yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga tertentu. Setidaknya itu yang sering saya rasakan ketika data dalam ranah akademis di junjung tinggi tetapi di lain pihak banyak orang yang masih meragukannya.
Pihak yang ragu selalu menyandingkannya dengan realitas. Mereka berpikir realitas punya ukuran yang lebih nyata dan punya value yang bisa dirasakan oleh semua orang. Sedangkan data dianggap dapat di manipulasi sesuai 'pesanan'.
Terlebih jika sudah membahas soal ekonomi dan politik. Data dianggap rentan dipolitisasi, syarat akan kepentingan penguasa. Hal ini pula yang jadi jargon pihak yang selama ini anti-pemerintah. Data yang dikeluarkan Badan Pusat Statisktik (BPS) tentang keberhasilan demi keberhasilan yang di klaim pemerintah dalam beberapa aspek dianggap telah di rekayasa sehingga memunculkan narasi skeptis.
Rocky Gerung pernah mengeluarkan pernyataan kontroversi soal hoax. Ia mengatakan, hoax terbaik adalah hoax versi pemerintah karena dianggap punya senjata lengkap untuk melakukan segala bentuk manipulasi. Pernyataan itu tentu sangat menyinggung pada data keberhasilan pemerintah selama ini.
Akhirnya pihak yang pro-data dan pro-realitas melakukan perdebatan yang tidak pernah usai. Contoh yang sering saya lihat, perdebatan tentang jumlah pengangguran di Indonesia. Menurut data BPS, angka pengangguran setiap tahun terus mengalami penurunan. Tapi menurut sebagian orang, pada realitasnya jumlah pengangguran semakin meluas, terjadi dimana-mana.
Lantas mana yang benar? Mereka yang berpatokan pada data meyakini kerja keras BPS sebagai lembaga independen. Sedangkan mereka yang berpatokan pada realitas lebih percaya pada kenyataan yang mereka lihat di lapangan.
Tetapi bagi saya realitas punya lebih banyak kelemahan. Realitas seringkali bersifat relatif. Relatif disini lebih kepada sudut pandang seseorang dalam melihat sesuatu. Tidak ada hitungan yang akurat jika patokannya hanya pada realitas seseorang yang sempit.
Mereka yang berpikir pengangguran mengalami kenaikan bisa jadi hanya melihat pada pengalaman pribadi, keluarga, teman terdekat atau orang-orang yang mereka kenal saja. Sedangkan jika ingin melihat realitas yang sebenar-benarnya seseorang harus mencari fakta yang menyeluruh.
Jika seseorang curhat tentang susahnya mencari kerja, ditolak dari satu perusahaan ke perusahaan lain. Lalu menarik kesimpulan bahwa sekarang ini susah cari kerja, kemudian ini terhubung dengan hipotesa dari mereka yang punya pengalaman yang sama, dari orang yang juga pengangguran sehingga kesimpulan yang diambil pun sama.
Orang yang tinggal di kota kecil, lapangan pekerjanya sedikit, potensi ekonominya rendah, akan cenderung berpikiran angka pengangguran juga rendah. Sebab realitas di kotanya mengatakan seperti itu. Berbeda jika seseorang tinggal di kota besar, bermukim di perumahan elit, punya lingkungan pertemanan yang kaya raya maka akan cenderung merasa nyaman, tak mengeluh soal pengangguran.
Dari situ saja kita bisa melihat bahwa realitas itu bisa bersifat sangat relatif. Tergantung bagaimana seseorang melihat realitasnya secara personal dan menarik kesimpulan secara subjektif. Kemudian bagaimana dengan data? Apa dalam dua perbandingan ini data menjadi yang diunggulkan? Tidak juga.
Beberapa tahun lalu, ada sebuah survei di kota saya yang menyatakan bahwa 8 dari 10 siswi SMA sudah pernah melakukan seks diluar nikah. Data ini tentu sangat mengejutkan. Bukan saja bagi saya tapi bagi semua pihak terutama mereka yang bergelut dalam bidang pendidikan.
Seseorang yang saya kenal kemudian mencari tahu asal-muasal data ini. Ia bahkan mendatangi langsung lembaga survei terkait. Setelah ditelusuri ada fakta mengatakan survei tersebut menggunakan sampel dari beberapa siswi SMA 'pinggiran' yang terkenal sebagai sekolah dengan akreditasi rendah dan memang sering terjadi banyak kasus kenakalan disana. Sedangkan sekolah-sekolah yang punya image baik tidak masuk dalam sampel survei.
Dari contoh tersebut setidaknya bisa menyimpulkan bahwa data tidak selalu punya kebenaran mutlak. Data tetap punya sisi lemah karena tergantung pada metode yang digunakan sehingga jika metodenya tidak fair maka hasilnya pun akan salah.
Bagaimana dengan data-data yang di klaim di pemerintah? Apa mungkin data yang dibuat sesungguhnya merupakan ketidakadilan dalam mengambil data dan kesalahan dalam cara-cara pengukuran data? Bisa iya, bisa tidak. Tetapi setidaknya itu bisa jadi nilai kritis yang bisa di rundingan bersama oleh kita dan kaum akademisi.
Namun jika perlu diperjelaskan lagi. Data dalam hal ini selalu punya ukuran-ukuran yang jelas dan bisa dibuktikan. Tetapi kalau berbicara realitas, ini tergantung siapa yang berbicara. Terkadang tukang tambal ban di depan kampus saya pun bisa berbicara realitas. Ya, tentu realitasnya sesuai dengan kehidupannya yang pas-pasan.
sumber foto: tempo.co
Tidak ada komentar: