#3 Dibalik Nulis: Menulis Tentang Politik
Sudah cukup sering saya menulis tentang politik. Lebih tepatnya mengomentari prilaku politisi di dunia politik praktis. Saya memang tertarik dengan topik-topik politik yang mewarnai pemberitaan media. Banyak intrik yang bermain disana. Itu yang membuat politik praktis menjadi sangat menarik untuk dibahas.
Meski semestinya berita politik diisi dengan ragam regulasi dan kebijakan, tetapi kenyataannya politik saat ini lebih banyak diisi oleh para aktor politik yang kadang bikin salut, ingin memuji tapi tidak sedikit yang bikin geram, dan bikin saraf ingin meledak. Kata ‘meledak’ sebenarnya gambaran hyperbola yang sangat cocok ditempelkan pada netizen yang sering ikut campur dalam politik praktis. Lebih tepatnya saat ini ‘netizen politik’ terbagi menjadi 2 kubu: cebong dan kampret.
Saya sangat termotivasi membuat tulisan politik karena banyak keresahan yang ingin saya suarakan. Sekalipun ada orang yang tidak setuju dengan tulisan-tulisan saya tetapi menyuarakan apa yang saya ketahui dan saya yakini itu benar merupakan kepuasan pribadi. Saya meyakini bahwa diluar sana, pasti ada orang yang punya keyakinan yang sama dengan saya.
Saya berusaha untuk tetap berada di tengah dalam mengungkapnya preferensi politik saya. Dalam artian, saya tidak mau berdiri pada sikap fanatik dan membela habis-habisan tokoh politik yang saya suka. Sebab politik praktis itu sangat dimanis. Terutama jika membahas soal yang namanya kepentingan.
Saya meyakini bahwa ketika seseorang memutuskan terjun ke dalam politik praktis, mau tidak mau, suka tidak suka mereka harus membuang sedikit banyak “idealisme”. Bahkan ketika kita berkaca pada kelompok yang maha kritis seperti aktivis mahasiswa, Sebenarnya mereka tidak merasakan apa yang politisi rasakan. Akan beda ceritanya, jika aktivis mahasiswa sudah terjun ke politik praktis.
Itu terbukti ketika di media ada beberapa mantan aktivis yang terjerat korupsi.
Artinya apa yang mereka teriakan dulu dalam demo-demo di jalanan justru jadi blunder dan seperti menjilat ludah sendiri. Mungkin, ada sebagian yang tetap idealis dengan catatan ‘syarat dan ketentuan berlaku’, namun ada pula yang menanggalkan habis-habisan idealisme.
Dalam berkomentar soal politik, saya berusaha memahami aktor politik secara personal seraya membayangkan jika saya berada di posisi mereka. Saya pernah melihat salah satu aktivis HAM yang mengkritik soal sikap netral Jokowi pada kasus Meiliana yang terkena kasus penghinaan toa mesjid.
sang aktivis HAM mengatakan sebagai presiden yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia, Jokowi seharusnya tidak boleh ‘balik badan’ dalam menanggapi isu-isu yang terkait erat dengan HAM.
Menurutnya, Jokowi harus punya sikap seminal-minimalnya mengatakan setuju atau tidak setuju.
Tetapi saya merasakan betul posisi Jokowi sebagai seorang politisi bahwa tidak semudah itu dia mengatakan ya atau tidak dan setuju atau tidak setuju. Pertimbangan politisi (apalagi jelas pilpres 2019) bukan sekedar menunjukan sikap tetapi ada opsi yang sangat perlu dipertimbangkan. Jokowi tahu kalau kasus Meiliana merupakan kasus yang sangat sensitif. Terlebih dalam kasus ini mudah sekali bagi kita membedakan mana yang pro dan mana yang kontra.
Mereka yang kontra terhadap protes Meiliana terhadap toa mesjid adalah mereka yang selama ini berada di kubu oposisi. PKS dalam hal ini jadi wajah utama dalam menyuarakan ‘islam sedang dizolimi’ sehingga pihak mereka akan mengungkapkan suara yang sama dalam menanggapi kasus Meiliana. Mereka adalah pihak yang paling senang melihat Meiliana di penjara karena dianggap jadi aktor antagonis yang memusuhi islam.
Ketika seorans aktivis HAM tersebut menuntut Jokowi membuat sikap atau menyatakan pendapatnya tentang kasus Meiliana maka oposisi akan menggoreng omongan Jokowi itu serenyah-renyahnya. Dan sudah tentu Jokowi akan di imprementasikan kembali sebagai anti islam karena dianggap membela sang ‘penista’ toa mesjid. Oleh sebab itu Sikap netral Presiden menurut saya menjadi hal yang baik.
Dalam kasus diatas merupakan salah satu contoh bagaimana saya menulis salah aktor-aktor politik di lapangan. Setiap menulis soal politik, saya tidak berusaha memahaminya dari sudut pandang ideal politik. Tapi enggunakan kacamata politisi dengan segala pertimbangan politiknya.
Setiap orang mungkin punya gaya yang berbeda dalam menulis politik. Meski begitu, saya yakin esensi yang disampaikan punya tujuan yang sama: mengomentari tingkah-laku para pemeran drama politik. Ini sama seperti kita mengomentari publik figur atau artis di televisi. Perbedaannya kalau artis, masalahnya selalu berkutat di kehidupan pribadi, sedangkan para politisi kalau sudah tersangkut masalah, yang kena getahnya rakyat indonesia sendiri. Apalagi masalahnya tidak jauh-jauh dari korupsi dan memenuhi syahwat istri.
Tidak ada komentar: