Buku dalam Ancaman Literasi Digital
Seseorang yang saya kenal pernah kagum dengan teman nongkrongnya. Dia kagum bukan karena bergelimang harta, wanita dan dosa, tetapi temannya termasuk orang yang bisa diajak diskusi tentang banyak hal. Ditanya soal isu politik, ia tahu. Diajak ngobrol soal filsafat, budaya, sosial, ekonomi, iya tahu. Ditanya kemana perginya teman yang suka ngilang kalau di tagih utang, barulah ia tidak tahu.
Namun ia pun bertanya-tanya, kenapa temannya itu punya wawasan yang begitu luas sedangkan membaca buku saja jarang. Satu jawaban sederhana: dia cerdas dalam memanfaatkan internet. Dia mengaku, meski jarang membaca buku tapi kuota internetnya selalu digunakan untuk mengakses konten berfaedah dan minim melihat tontonan yang berbau "ashiap". Maka wawasan umumnya bisa jadi tak kalah dengan seorang pecinta buku level newbie.
Banyak cerita tentang orang-orang sukses karena internet. Ada orang pandai memasak karena belajar dari youtube kemudian memberanikan diri berbisnis kuliner hingga laris manis. Ada orang yang pandai dalam akademik karena belajar lewat web-web yang edukatif.
Ada orang jadi pintar berbusana, make-up karena sering lihat toturial di instagram. Ada orang pintar ekonomi karena sering menyimak tulisan para ekonom di sosial media. Walaupun memang ada juga orang yang mendadak bego karena internet sampai tidak bisa membedakan mana orang alim, mana orang kapitalis laknat berkedok alim. Tapi semua itu tergantung bagaimana seseorang menggunakannya.
Terlepas dari banyaknya hoax dan konten-konten negatif, kita harus menyadari peran besar internet dalam mengubah nilai literasi di abad 21 ini. Semua yang kita akses di internet merupakan bentuk literasi digital yang punya output yang sama seperti halnya seseorang mempelajari sesuatu dari buku.
Memang dalam satu sisi, kita dihadapkan pada fakta yang mengecewakan bahwa indonesia adalah negerinya para pecundang buku. Data dari World’s Most Literate Nations menempatkan tingkat literasi Indonesia di urutan kedua terbawah, yaitu peringkat ke-60 dari 61 negara di dunia.
Semua itu diawali dengan malasnya membaca buku. Namun apakah adil jika literasi kita hanya di hitung dari seberapa minat atau seberapa banyak kita membaca buku? Sebab proses literasi kini lebih banyak dilakukan lewat internet.
Banyak orang (termasuk saya) sering menghabiskan waktu berjam-jam bahkan seharian di depan laptop dan ponsel hanya untuk membaca berita, membuka beberapa portal web menarik seperti kompasiana, geotimes, tirto.id dst. Tapi apakah itu bisa masuk dalam hitungan literasi? Sebab yang saya tahu literasi dalam membaca dihitung dari jumlah bacaan buku. Bisa jadi berjam-jamnya kita membaca tulisan di tirto.id misalnya, tidak masuk hitungan survei literasi.
Banyak survei yang menitikberatkan literasi pada kuantitas bacaan buku. Itu juga yang menjadi acuan kenapa di beberapa sekolah termasuk sekolah saya dulu pernah menerapkan program literasi dengan mewajibkan membaca buku 15 menit sebelum pelajaran dimulai. Tidak ada ceritanya menggiatkan literasi disuruh baca artikel detikcom, iya kan?
Pesatnya kemajuan teknologi informasi telah merubah banyak literasi kita. Akses membaca tidak bergantung pada buku saja. Bahkan kita bisa saja pintar dalam bidang tertentu tanpa harus membaca lembaran kertas dalam secarik buku. Toh dengan kehadiran teknologi, seseorang bisa memperluas wawasan, menyerap berbagai pengetahuan dan informasi lewat internet. Kini, jendela ilmu bisa diakses tanpa membeli buku.
Namun, ya, apa yang saya jelaskan diatas bisa jadi keliru namun tidak sepenuhnya salah pula. Ada poin-poin yang bisa menyanggah dan membenarkannya.
Yang membedakan antara buku dan informasi di internet adalah tidak adanya penyusunan pengetahuan secara lengkap dan tersetruktur. Serta yang jauh lebih penting, tidak ada seleksi tulisan dan tanggung jawab dalam setiap artikel yang tersebar di internet.
Terkadang informasi di internet ditulis secara anonim dan lebih rawan dengan tulisan yang tidak ilmiah. Itulah kenapa penggiat digital banyak yang mengkapanyekan gerakan anti hoax. Sebab itu yang jadi akar masalah dalam literasi digital saat ini.
Namun internet juga tak melulu berisi artikel "sampah". Internet sejauh ini telah memberikan pengaruh yang besar pada dunia membaca dan menulis. Sekarang ini, banyak situs atau web yang menyediakan platform bacaan yang berkualitas. Begitu juga dengan dunia menulis.
Dulu, berkarya lewat tulisan terbatas pada penulisan buku, koran, atau majalah sehingga market pembacanya pun terbatas. Bandingkan dengan internet yang segmentasi pembacanya jauh lebih luas dengan semua orang bisa mengaksesnya tanpa mengeluarkan uang.
Jadi, literasi secara utuh tidak hanya dimaknai dengan seberapa minat atau seberapa banyak seseorang membaca buku. Sebab buku bisa jadi hanya sebagai mediumnya saja.
Selebihnya, ilmu yang ada di dalam buku bisa di tempatkan pada medium lain seperti halnya internet. Yang membedakan buku dan internet hanya sebatas yang satu berbahan kertas dan satu lagi berbentuj digital. Tapi isinya tetap sama.
Bisa jadi suatu saat internet bisa lebih "dewasa", dalam arti informasi di internet dapat lebih bertanggung jawab dalam pengelolaan informasi. Siapa yang tahu? mungkin suatu saat orang akan lebih suka pada informasi di internet daripada pada buku.
Alasannya sederhana: internet lebih cepat dalam merespon informasi. Dan orang-orang dibalik bisnis buku akan mengejar kecepatan informasi dengan mengalihkan platform buku kedalam platform digital seperti internet. Hal ini sudah dilakukan oleh perusahaan koran dan majalah berita. Kedepannya perubahan itu akan terus berkembang.
Hal ini tidaklah salah jika suatu saat internet bisa menjadi "seilmiah" buku. Meski disadari tantangan kedepannya, pengetahuan dalam literasi digital harus berhadapan dengan polarisasi kepentingan oknum tertentu dengan penyebaran informasi subjektif bahkan hoax.
Tidak ada komentar: