Kenapa Ngomong Kasar Itu Nikmat?
Dasar anjing! |
Siapa sih yang tidak kenal Gustika Fardani Jusuf Hatta? Ya, saya salah satunya. Saya memang tidak kenal dia, tapi saya tahu di tahun 2018 lalu ada wanita yang katanya cucu Bung Hatta, sempat viral karena 'ngata-ngatain' Sandiaga Uno di Twitter.
Wanita ini tidak terima ketika Dahnil Anzar menyamakan Wakil presiden Prabowo itu dengan kakeknya yang seorang proklamator. Dan baru-baru ini saya tahu kalau dia adalah Gustika.
Yang membuat dia viral adalah kata-kata kasarnya di twitter yang ditulis dalam bahasa inggris. Dan bersamaan dengan itu, kritikan netizen yang maha benar menganggap Gustika sebagai sosok cucu Mohammad Hatta yang tidak punya attitude.
Siapa yang mengkritik? Tentunya dari kubu sana. Iya, sana.
Gustika menjadi perbincangan politik yang pedas. Berbagai tanggapan, baik dari netizen maupun cuitan balasan dari Dahnil Anzar beserta kawan-kawannya.
Gustika Hatta (foto: kumparan) |
Terlebih ketika suhu politik sedang on fire kala itu. Gustika juga diketahui mendapat punishment dari sang ibu gara-gara perbuatannya yang katanya malu-maluin.
Sampai-sampai si ibu menyediakan satu buah swear jar. Jadi setiap ada kata-kata kasar keluar dari mulutnya, ia harus mengisi swear jar itu dengan uang dua ribu rupiah.
Dalam sebulan saja, swear jar itu bisa dipenuhi uang dua ribuan sampai cukup membeli microvawe, begitu katanya. Tak kuat saya ingin ketawa mampus saat membaca pengakuannya di laman berita.
Sebagai orang awam, saya berpikir kalau Gustika memang sosok anak yang mulutnya susah di rem. Tapi itu yang membuatnya jadi orang yang tidak mau cari aman dalam bersikap.
Dia blak-blakan dalam mengatakan apa yang ia tidak suka langsung ke orangnya alias tidak ngomong di belakang. Walaupun kasar, setidaknya ia sudah mepraktekkan sebuah hadist yang sering kita dengar: katakanlah kebenaran, sekalipun itu pahit.
Gustika jadi mengingatkan saya pada teman SMA saya dulu. Mulutnya agak kurang di filter tapi cukup intelek dengan latar pendidikannnya yang bikin orang melongo. Ya, ia lulusan kampus London, Inggris. Ngambil studi ilmu perang lagi.
Saya akhirnya percaya kalau ngomong kasar tidak ada korelasinya dengan intektual seseorang. Meski kita tahu prilaku, sifat, budi pekerti atau apapun namanya, memang tidak selalu terhubung dengan kecerdasan.
Pengumpat memang dianggap buruk. Apalagi banyak yang menghubungkannya dengan narasi orang baik, lebih-lebih orang cerdas dianggap tidak mungkin berkata kasar. Apalagi dalam politik, orang santun dianggap sosok pemimpin yang paling ideal.
Hmm.. Benarkah begitu? Tanyakan saja pada rumput yang bergoyang. Tapi sebaliknya, orang tidak baik dianggap lebih familiar dengan kata-kata kasar. Dan stereotipe itu terus terbangun dalam pikiran masyarakat sekarang.
Meski kenyataannya, orang yang baik secara ucapan tidak ada hubungannya dengan bagus atau tidaknya dalam kepemimpinan. Ada banyak kasus dimana orang yang mulutnya sangat dijaga, tapi prilakunya tetap liar kemana-mana.
Kalimat kasar atau mengumpat sebetulnya terucap akibat pembiasaan terus diulang-ulang. Lingkungan sangat berpengaruh tentang cara seseorang bisa berbicara kasar. Setidaknya itu kesimpulan yang bisa saya dapat dari hasil cek on ricek di om Google.
Saya sendiri termasuk orang yang jarang pengumpat. Jarang, ya, bukan berarti tidak pernah. Sekalinya keluar kata-kata kasar, tak sampai keluar di mulut, hanya mentok di hati saja, kalau sedang benar-benar kesal.
Tapi beda ceritanya kalau sudah berinteraksi dengan teman seperjuangan. Kata-kata kasar tetap keluar meskipun konteksnya sebatas candaan. Keceplos sekali-dua kali sambil tertawa. Tidak sampai marah-marah.
Saya mencoba mencari-cari literatur soal bagaimana seseorang begitu menikmati kata-kata kasar dalam kehidupan sehari-harinya. Dan saya tidak menemukan jawaban yang memuaskan.
Tapi jawaban sederhana untuk menjawab itu adalah, kata-kata kasar secara tidak langsung memang membawa kepuasaan.
Harus diakui, kata-kata kasar kalau sudah jadi kebiasaan akan memberi kenikmatan yang hakiki. Itu jadi ekpresi spontan yang keluar dari mulut seseorang acapkali dihadapkan pada satu situasi tertentu.
Itu sama seperti kalau orang mendengar suara petir yang keras. Ada orang spontan beristigfar, ada yang teriak, ada pula yang malah latah-latah gaje. Atau ada sebagian orang yang perasaannya jadi sedikit lebih lega ketika kata-kata binatang terucap begitu saja.
Akhirnya orang yang sudah terbiasa ngomong kasar, memang susah untuk menghilangkan kebiasaan itu. Yang paling mudah dikontrol adalah harus tahu situasi.
Kalau situasinya ada di circle pertemanan yang orang-orangnya sangat mengerti dan tolerir dengan ucapan mengumpat itu, ya tidak menjadi masalah.
Beda lagi situasinya jika kita berada di lingkungan yang menjungjung tinggi kesantunan, ya harusnya kita tahu bagaimana harus bersikap dan tahu bagimana berucap.
Tidak ada komentar: