Puasa Instagram, Why Not?
Karena ada satu-dua masalah, saya memutuskan rehat dari Instagram. Awalnya berat, tapi lama-lama ketagihan juga. Rasanya hati lebih plong dan otak lebih waras. Waktu yang biasa dihabiskan scroll feed Instagram bisa dialihkan pada kegiatan yang lebih produktif.
Saya coba non-aktifkan Instagram selama seminggu, tapi saya perpanjang lebih lama lagi. Sampai suatu kali saya mikir, "kenapa gak lanjut saja sampai sebulan penuh?" Akhirnya Instagram pribadi sudah tidak pernah saya buka lagi selama sebulan ini.
Tapi seminggu terakhir, saya diam-diam bikin akun Instagram baru. Tujuannya, saya sedang butuh refreshing untuk mengakses akun-akun berfaedah di Instagram, seperti akun-akun motivasi, kajian-kajian islam, dan update berita terkini.
Akun Instagram tersebut tidak ada foto dan followers-nya. Jadi, literally, saya buat Instagram itu hanya untuk kepoin akun tertentu saja.
Setelah cukup lama meninggalkan dunia Instagram, saya baru sadar, apa yang membuat media sosial yang satu ini untuk sebagian orang dianggap buruk bagi kesehatan mental.
Saya kembali diingatkan dengan curhatan seseorang di LINE yang mengatakan Instagram itu media sosial yang paling toxic. Lalu dia mencoba melakukan puasa Instagram selama beberapa waktu dan merasa ada hal positif yang berubah dari dirinya.
Saya terinspirasi dengan tulisannya hingga baru kepikiran untuk melakukan puasa Instagram sekarang ini. Ia mengatakan, berkat ulah Instagram, segala penyakit hati bisa tiba-tiba keluar.
Kita jadi gampang negative thinking sama orang, gampang iri dan dengki ketika melihat orang-orang melakukan panjat sosial di Instagram. Ngepost liburan, makanan, melihat keriuhan bersama teman-teman. Mereka terlihat seru dan menyenangkan, padahal in real life, kadang atau malah banyak yang tidak sesuai keyataan.
Satu jempretan foto tidak bisa menginterpretasikan satu kejadian yang sebenarnya. Itulah kenapa Instagram adalah tempat paling jitu untuk "pencitraan".
Hanya butuh waktu beberapa detik dalam jempretan foto untuk berpura-pura terlihat bahagia, setelah itu seseorang bisa kembali pada kejadian yang sebenarnya.
Misal, ada orang yang kumpul berselfie dengan temannya. Berpose sambil memasang mimik bahagia. Setelah diambil dua-tiga foto, mereka semua sibuk dengan smartphone-nya masing-masing.
Kadang, di kenyataannya, ada di antara mereka yang tidak terlalu dekat satu sama lain. Bahkan bisa jadi ada yang diam-diam "bermusuhan".
Pengguna Instagram hanya menampilkan yang 'senang-senangnya' saja. Padahal in real life, banyak hal buruk yang tidak terekspos dari seseorang. Seperti yang pernah terjadi pada penyanyi Indonesia, Vidi Aldiano, yang "berpura-pura" terlihat nyaman dan selalu menyenangkan di Instagram-nya.
Tapi, di balik itu, dia mengaku mengidap gangguan mental sejak lama yang diketahui sebagai bagian dari anxiety disorder. Dia mengalami gejala panic attack yang membuat tubuhnya hampir setiap minggu tidak bisa digerakkan.
Itu contoh di mana media sosial (bukan hanya Instagram) secara tidak langsung membentuk citra tertentu, tapi di saat bersamaan bisa melupakan sisi lain yang pasti ada dalam diri setiap orang.
Di Instagram, seseorang bebas ingin membentuk citranya sendiri. Kalau ingin dicitrakan sebagai orang kaya, tinggal sering posting foto dengan mobil mewah. Padahal bisa saja mobil itu hasil rentalan atau numpang foto saja di mobil orang lain.
Instagram memang bisa menipu. Gara-gara pengguna Instagram yang toxic, semua orang kompak ingin selalu terlihat bahagia. Meski kebahagiannya terlihat semu.
Itu alasan kenapa Instagram bisa membawa dampak buruk bagi kesehatan mental seseorang. Secara psikologis, seseorang seperti dituntut untuk tampil sempurna demi mendapat like yang banyak.
Istilah "bahagia itu sederhana" ternyata hanya sesederhana mendapat like. Meski kenyataannya butuh effort yang besar agar bisa mendapat jumlah love yang banyak.
Seperti harus berpergian ke tempat keren yang Instagrammable dengan menghabiskan uang yang tidak sedikit. Tapi apalah artinya uang demi mengharapkan komentar pujian "kamu cantik dechh.." dan berharap dapat balasan "makasih sama yang lebih cantik"?
Saya tidak mengajak orang untuk berhenti main Instagram. Karena saya pun menyadari, setiap orang (termasuk saya) terkadang punya keinginan untuk memperlihatkan eksistensinya di media sosial.
Tetapi akan menjadi tidak sehat jika digunakan secara berlebihan. Seseorang harus sadar kalau ada cerita lain yang bisa jadi baik, bisa jadi buruk, di balik sebuah snapgram atau post Instagram.
Dan kita mesti sadar, ada dunia yang lebih real daripada kumpulan foto atau video pendek di Instagram yang tidak bisa kita judge sebagai tolok ukur kebahagiaan.
Ada kalanya kita harus belajar untuk menikmati kebahagiaan hidup kita sendiri tanpa harus di-share ke orang lain. Karena apa yang kita bagikan ke media sosial belum tentu orang ikut merasa bahagia, even justru malah mendatangkan rasa iri, syirik, beserta penyakit turunannya.
Saya membuat tulisan ini bukan karena saya anti dengan segala panjat sosial di Instagram, tapi justru ini sebagai reminder saya agar tetap waras di Instagram.
Sekaligus berbagi testimoni bagaimana program puasa Instagram yang masih saya lakukan ini membawa kesadaran baru tentang bagaimana baiknya bermedia sosial di Instagram. Semoga dengan ini kalian bisa mengambil pelajarannya.
Foto: play.google.com
Tidak ada komentar: