#7 Dibalik Nulis: Kejar Dulu Kualitas atau Kuantitas?
Ketika menulis, tuntutan untuk membuat sebuah tulisan berkualitas itu mutlak perlu. Karena tulisan dibuat bukan hanya dinikmati oleh penulisnya sendiri, tapi pembaca pun perlu "dimanjakan". Ketika sebuah tulisan berkualitas, pembaca akan banyak yang suka. Dan begitulah harusnya tulisan dibuat.
Kalau tulisan hanya sebatas panjang lebar, berlembar-lembar tapi target pembacanya tidak mengerti kita nulis apa, ya percuma. Sia-sia bikin tulisan kalau akhirnya kurang dimengerti.
Untuk membuat tulisan berkualitas, saya rasa semua orang tahu caranya. Cuma setiap orang memang harus terus berproses, terus belajar dalam mengasah kemampuan menulisnya.
Seperti saya yang kemampuan nulisnya masih ecek-ecek, masih mencoba mengulik-ngulik sendiri bagaimana membuat sebuah tulisan semakin berkualitas. Tentu berkualitas disini punya sudut pandang yang berbeda.
Ibaratnya, mau berkualitas dari apanya dulu nih?
Kali ini saya akan bahas kualitas dari segi teknisnya. Bagaimana membuat tulisan enak dibaca. Masalah enak dibaca atau tidak, itu ada kaitannya dengan jam terbang atau pengalaman. Karena nulis itu seperti mengasah pisau. Semakin sering diasah semakin tajam. Semakin sering berlatih maka semakin baik kemampuannya.
Nah, bicara soal mengasah kemampuan menulis, sebetulnya itu berkaitan dengan kuantitas. Seberapa panjang atau seberapa banyak tulisan yang dibuat. Kepandaian dalam menulis enggak bisa didapatkan dalam waktu semalam.
Menulis itu hampir enggak ada kaitannya dengan bakat. Skill menulis didapat dari proses berlatih yang dilakukan secara terus-menerus. Yang bikin saya dilema dalam masa pelatihan kemampuan menulis, apakah kita harus mengejar kualitas atau kuantitas dulu?
Maksud saya begini.
Selama 2 tahun terakhir ini, saya berusaha membuat tulisan bagus dari sisi kualitas. Penyusunan kata, kalimat, sampai apa saja yang harus dimuat dalam tiap paragraf cukup rinci saya pikirkan. Proses editing-nya pun bisa memakan waktu berjam-jam.
Walaupun kenyataannya selalu ada celah kekurangan dalam penulisan, tapi saya merasa sangat puas ketika telah penyelesaikan satu tulisan saja. Saya akui gara-garang proses editing-nya berulang-ulang, pembuatan tulisan jadi memakan waktu lama.
Coba bayangkan, dulu, untuk membuat satu tulisan saja saya butuh waktu 2-3 hari. Biasanya saya cukup detail dalam pemilihan kata yang menurut saya pas. Akan tetapi, tahu kah kalian kalau dari sisi kuantitas, saya termasuk orang yang tidak produktif menulis? Sebab untuk menulis satu artikel saja, saya membutuhkan waktu yang lama.
Tapi, berbeda dengan apa yang saya lakukan sekarang, selama beberapa bulan terakhir ini, saya mencoba memprioritaskan kuantitas dulu.
Sebab saya ingin mengejar seberapa kuat saya mengasah "pisau" dalam menulis. Karena problem utama saya sebelumnya, saya terlalu perfeksionis, sehingga perlu waktu lama untuk menulis satu tulisan saja.
Sebab saya ingin mengejar seberapa kuat saya mengasah "pisau" dalam menulis. Karena problem utama saya sebelumnya, saya terlalu perfeksionis, sehingga perlu waktu lama untuk menulis satu tulisan saja.
Perfeksionis ini bisa jadi baik, bisa jadi buruk. Tapi dalam kasus saya, ke perfeksionisan saya membawa dampak pada produktifitas menulis yang menurun. Jadi proses mengasah menulisnya tidak berkembang signifikan.
Apa lantas kualitasnya harus terabaikan?
Saya harus mengatakan, iya. Saya merasa setiap hari harus mengejar target tertentu dalam menulis. Misalnya sehari saya harus nulis 1-2 artikel dengan minimal 600 kata.
Maka saya akui saya enggak begitu detail dalam menyusunan kalimat. Saya sedikit masa bodo kalau ada kalimat yang kayaknya 'enggak saya banget'. Dalam arti saya mengurang-ngurangi proses editing yang biasanya saya lakukan berulang-ulang karena memakan banyak waktu.
Jadi ketika ditanya, kejar kuantitas dulu atau kualitas dulu?
Jawabannya kuantitas dulu. Ini dilakukan dalam tahap meningkatkan skill, karena mesti diakui, terlalu perfeksionis artinya terlalu berhati-hati dalam menulis. Terlalu memikirkan teknis menulis juga tidak baik karena dalam proses mengasah kemampuan menulis, yang perlu dipikirkan lebih dulu adalah produktifitasnya. Atau seberapa banyak karya tulisan yang kita buat.
Kalau masalah kualitas tulisan, menurut saya itu bisa mengikuti. Dalam artian, sambil meningkatkan kuantitas tulisan, sedikit demi sedikit memperbaiki kualitas. Nah, harapannya, di masa yang akan datang, ketika kita punya jam terbang menulis yang panjang, kualitas dan kuantitas tulisan akan berjalan bersamaan.
Kalau masalah kualitas tulisan, menurut saya itu bisa mengikuti. Dalam artian, sambil meningkatkan kuantitas tulisan, sedikit demi sedikit memperbaiki kualitas. Nah, harapannya, di masa yang akan datang, ketika kita punya jam terbang menulis yang panjang, kualitas dan kuantitas tulisan akan berjalan bersamaan.
Contoh yang bisa lihat adalah para penulis profesional di kanal-kanal media mainstream. Mereka menulis banyak artikel setiap hari. Mereka mengejar kuantitas dari artikel yang mereka buat karena memang bagian dari tuntutan deadline dari perusahaan tempat mereka bekerja.
Secara skill, kemampuan mebulis mereka enggak bisa diragukan lagi. Minimal bukan penulis awam yang ecek-ecek kayak saya. Kalau dilihat secara kualitas, tulisan mereka pun sudah mumpuni.
Logikanya, ketika mereka sudah di rekrut sebagai penulis di media,secara tidak langsung kemampuan menulis mereka sudah diakui dong ya. Enggak mungkin perusahan merekrut penulis yang masih dalam tahap proses belajar. Bagi mereka kuantitas dan kualitas bisa dipikirkan bersamaan.
Secara skill, kemampuan mebulis mereka enggak bisa diragukan lagi. Minimal bukan penulis awam yang ecek-ecek kayak saya. Kalau dilihat secara kualitas, tulisan mereka pun sudah mumpuni.
Logikanya, ketika mereka sudah di rekrut sebagai penulis di media,secara tidak langsung kemampuan menulis mereka sudah diakui dong ya. Enggak mungkin perusahan merekrut penulis yang masih dalam tahap proses belajar. Bagi mereka kuantitas dan kualitas bisa dipikirkan bersamaan.
Tidak ada komentar: