Sebelum Berdakwah Pada Orang Lain, Berdakwahlah Pada Diri Sendiri
Di lingkungan saya, komunitas hijrah cukup mudah ditemui. Salah satunya di UKM yang base-nya kerohanian islam. UKM tersebut ikut memplopori komunitas ini secara lebih terorganisir. Diluar itu, ada komunitas hijrah lain yang kemasannya unik yang beberapa teman saya ikuti seperti Bikers Subuhan.
Setelah mengikuti "tren" hijrah, ada sebagian dari teman saya merubah total konten medsos (media sosial) nya. Yang dulu sering share tempat dan makanan kekinian, sekarang lebih banyak share kutipan hadist. Yang dulu share video lucu, sekarang share video ceramah dari akun-akun dakwah.
Sebetulnya tidak masalah dan sah-sah saja. Bahkan bagus juga karena isi sosmednya ada meningkatan dari biasanya pansos campur toxic, jadi lumayan ada faedah-faedahnya.
Hanya saja yang perlu sedikit dikritisi adalah mereka yang baru mendalami agama, ada sebagian yang tidak begitu paham tentang ilmu yang baru mereka dapatkan.
Sebagian dari mereka memang ada yang "kebelet bijak". Setelah mendapat satu pencerahan, ilmu baru, bawaannya ingin cepet di share. Padahal, ilmu yang mereka dapat belum diresapi, belum dihayati bahkan belum di praktekkan.
Padahal, seingat saya dan sepengetahuan saya, dakwah itu tidak boleh dibagikan sembarangan, apalagi kalau kita tidak terlalu mengerti ilmunya.
Dakwah atau hal-hal agama yang kita bagikan ke media sosial, meskipun baik, meskipun memberikan pencerahan kepada orang, tapi kalau kita tidak atau belum mengamalkan ilmu itu, ya ujung-ujungnya jadi kurang worth it juga. Loh, kenapa bisa begitu?
Saya pernah mendengar kata-kata dari Habib Husen Ja'far Al-Hadar. Beliau mengatakan, yang sering lepas dari kita adalah kita berdakwah tapi kita sendiri belum memiliki kesadaran terhadap sesuatu yang ingin kita sampaikan. Artinya, kita mengajak pada kebaikan tapi diri kita sendiri belum melaksanakan kebaikan itu.
Misalnya kita menulis sebuah tweet, status, caption atau apapun itu yang mengajak sesama muslim untuk rajin ibadah, tapi kita sendiri belum melaksanakan ibadah itu dengan baik. Atau kita mengajak orang lain untuk menjauhi kemaksiatan, tapi diri kita sendiri masih lalai terhadap hal-hal yang mendekat maksiat.
Jadi antara yang di tulis/ucapakan tidak sama dengan apa yang telah kita laksanakan. Padahal, dalam islam hal itu dilarang.
Ada dua ayat yang bisa menjelaskan tentang hal itu.
Pertama, surat Al-Baqarah ayat 44, yang artinya:
Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca al-Kitab. Maka tidaklah kamu berpikir?
Kedua, surat As-Shaff ayat 2-3, yang artinya:
Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?
Jadi, bagi saya, jalan terbaik dari berdakwah sebetulnya mendahulukan berdakwah pada diri sendiri. Alih-alih mencerahami orang lain pada satu ilmu agama yang belum saklek kita pahami, lebih baik kita meperbanyak amalan kita dan memperbaiki akhlak kita sendiri dulu.
Di dalam Islam sendiri, sudah banyak anjuran agar kita memperbanyak bermuhasabah atau berinstropeksi dalam menjalankan syariat agama. Bersibuk memperbaiki atau mengubah diri sendiri lebih diutamakan dibanding mengubah orang lain.
Memang, setiap muslim dianjurkan untuk berdakwah, apalagi dalam hadist Bukhari mengatakan, ballighu 'anni walau ayah (sampaikan dariku walau hanyabsatu ayat).
Tapi tidak lantas hal itu membenarkan praktek dakwah yang "asal-asalan". Dalam arti, jika jita belum cukup memiliki kesadaran tentang ilmu yang baru saja kita dapat dari ustad atau mubaligh, ya lebih baik simpan ilmu itu sementara waktu untuk di renungi, barulah kemudian dilaksanakan secara baik. Wallahu'alam.
Foto: nu.or.id
Tidak ada komentar: