Mahasiswa, Bijaklah dalam Berdemonstrasi

Kita tidak bisa membenarkan kebaikan yang dilakukan dengan cara yang buruk. Sebab membela hal baik harus juga dilakukan dengan cara yang baik.
Saya pikir demonstrasi mahasiswa bukanlah aksi yang sia-sia. Meski dulu saya pernah membuat tulisan tentang kritik saya terhadap demonstrasi yang dianggap kurang efektif untuk beraspirasi. Akan tetapi, bukan berarti demonstrasi menjadi tidak layak dilakukan.
Setelah beberapa kali saya menghadiri sejumlah demonstrasi bersama rekan sesama mahasiswa, saya sadar bahwa tidak ada lagi elemen masyarakat yang paling bisa diandalkan dalam beraspirasi selain mahasiswa.
Mungkin organisasi terkait seperti LSM bisa jadi corong yang bisa menjembatani aspirasi juga. Tetapi, mahasiswa punya posisi yang lebih strategis untuk bersuara.
Kita tidak bisa mengandalkan sepenuhnya orang-orang tua kita untuk turun ke jalan. Sebab mereka sudah punya kepentingan yang harus dipenuhi.
Para orang tua punya kewajiban untuk mencari nafkah, sebagian lagi harus berkecimpung pada pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan. Lagi-lagi ya berhubungan dengan kebutuhan finansial. Realistis? Iya, jelas.
Dukungan yang paling memungkinkan bagi orang-orang tua diluar sana paling banter adalah dukungan moril. Dukungan yang biasanya dilakukan di media sosial, dalam bentuk tweet, postingan, stories dan meramaikan berbagai tagar.
Langkah itu bisa dilakukan untuk menyebar luaskan informasi bahwa ada kerja-kerja dari pejabat kita yang dianggap salah arah sehingga perlu diingatkan. Kalau perlu di "paksa" dengan gerakan yang lebih besar.
Mahasiswa, tidak punya beban finansial untuk memenuhi apa yang orang-orang "dewasa" harus penuhi. Mahasiswa secara umum belum punya beban untuk bekerja karena belum punya tanggung jawab pada keluarga. Jadi aspirasi dalam bentuk demonstrasi bisa dilakukan dengan leluasa tanpa (katakanlah) terhalang jam kerja kantor.
Namun, dari apa yang selama kami atau teman-teman mahasiswa lakukan bagi saya ada yang perlu di kritisi juga. Mungkin secara substansi tidak menyangkut isi tuntutannya, tapi lebih kepada etika dalam menyuarakan aspirasi di ruang publik.
Sebab selama ini, demonstrasi memang di pandang oleh sebagian orang sebagai aksi yang menganggu. Oleh karenanya, mahasiswa perlu berpikir untuk meminimalkan dampak atau kerugian bagi masyarakat sekitar yang terganggu mobilitasnya.
Pertama, demonstrasi tidak harus merusak fasilitas umum. Kita tahu fasilitas umum tersebut di danai oleh rakyat lewat pajak. Merusak artinya menyia-nyiakan uang rakyat.
Jika mahasiswa merasa anggota DPR yang terhormat telah menyia-nyiakan uang rakyat karena bekerja tidak benar, maka mahasiswa pun jangan membuat kebodohan yang sama.
Di banyak aksi, ada sebagian oknum yang merusak gerbang instansi pemerintah, pembatas jalan, pos polisi, bahkan ada oknym yang merusak kendaraan warga. Ingat, ini oknum, bukan berarti saya memukul rata atau mengenalisir prilaku mahasiswa.
Kedua, setelah demonstrasi selesai, sudah selayaknya membersihkan sampah dan atribut yang berserakan. Kita jarang melihat prilaku itu. Kalau pun ada, hanya sebagian kecik saja yang punya kesadaran seperti itu.
Ketiga, mahasiwa harus tahu waktu. Sesuai dengam pasal 7 ayat (1) Perkapolri 7/2012, demonstrasi hanya bisa dilakukan di tempat terbuka antara pukul 06.00 s.d. pukul 18.00 waktu setempat. Dan tempat tertutup antara pukul 06.00 s.d. pukul 22.00 waktu setempat.
Keempat, demontrasi seyogyanya merupakan bentuk aspirasi yang didalamnya berisi tuntutan-tuntutan.
Harapannya tentu pihak yang di tuntut bisa mendengar dan menyikapi aspirasi yang di suarakan di jalanan. Jadi, jangan sampai tujuan mulia ini menjadi mala petaka. Apalagi sampai memakan banyak korban.
Kabar terakhir yang saya dengar, demonstrasi mahasiswa tempo hari cukup memakan korban luka-luka yang banyak. Bukan hanya dari pihak mahasiswa, aparat yang mengamankan pun ikut kebagian getahnya.
Mahasiswa dan polisi sama-sama dirugikan. Kalau berbicara soal oknum, kedua belah pihak punya oknum "bar-bar"nya masing-masing.
Di WhatsApp group saya, banyak yang share mahasiwa yang luka-luka. Oknum polisi pasti yang paling disalahkan. Tapi di lain pihak, polisi pun tak sedikit yang menjadi korban.
Tentu kita ingat beberapa waktu lalu ada kasus oknum mahasiswa membakar polisi yang melakukan pengamanan saat demonstrasi. Intinya, tidak ada yang di untungkan dalam demonstrasi yang dilakukan dengan cara kekerasan.
Mahasiswa juga manusia. Aparat polisi juga manusia. Kita semua sama-sama bisa menjadi korban. Bukankah lebih bijak jika korban dari kedua belah pihak diminimalisir bahkan diusahakan jangan sampai ada korban?
Niat baik mahasiswa juga harus dilakukan dengan cara baik. Kita tidak bisa membenarkan kebaikan yang dilakukan dengan cara yang buruk.
Sebab membela hal baik harus dilakukan dengan cara yang baik juga. Dan menyerang hal buruk tidak harus dilakukan dengan prilaku yang buruk juga kan?
Sekali lagi, tulisan ini memang tidak berkaitan dengan tuntutan yang sedang di perjuangkan mahasiswa. Tetapi, saya rasa mahasiswa perlu diingatkan juga tentang hal-hal sepele seperti ini dalam setiap aksinya.
Harapan kita tentu semoga demonstrasi suatu hari nanti tidak menjadi bagian dari langkah beraspirasi yang menakutkan. Kekerasan itu tidak keren. Sama sekali tidak keren.
Namun kita pun perlu ancungkan jempol pada mahasiswa yang kritis atas demonstrasi kemarin. Tetap bijak dalam berdemontrasi ya. Salam mahasiswa!
Foto: tempo.co
Tidak ada komentar: