Budaya Merokok Keluarga
Saya tidak pernah merokok walau lingkungan saya hampir semuanya perokok. Bagaimana saya bisa bertahan untuk tidak ikut-ikutan merokok?
Jawabannya harus punya prinsip. Kalau sudah punya prinsip untuk tidak merokok, sampai kapanpun kita tidak akan tertarik untuk merokok meskipun hanya sekedar coba-coba. Walaupun circle pertemanan mengajak kita untuk merokok, ya seharusnya kita tidak terjerumus untuk melakukan hal yang sama.
Godaan terberat ketika lingkungan kita dipenuhi para perokok adalah adanya konsekuensi "dikucilkan". Sebab saya merasakan hal itu. Dikucilkan dalam arti bisa jadi diremehkan, dianggap tidak "cowo banget."
Ketika saya dikatakan seperti itu, jelas sakit hati. Tapi pada prinsipnya saya tetap berteguh diri untuk tidak merokok. Disisi lain, saya jadi tidak menarik bagi kelompok tongkrongan. Tapi di satu sisi, saya bersyukur bahwa orang lain tidak bisa memberikan dampak buruk pada saya.
Ketika saya dikatakan seperti itu, jelas sakit hati. Tapi pada prinsipnya saya tetap berteguh diri untuk tidak merokok. Disisi lain, saya jadi tidak menarik bagi kelompok tongkrongan. Tapi di satu sisi, saya bersyukur bahwa orang lain tidak bisa memberikan dampak buruk pada saya.
Di keluarga besar saya, merokok sudah jadi semacam budaya turun-menurun. Mau itu laki-laki atau perempuan, hampir semuanya merokok.
Kakek dan nenek saya merokok. Kebiasaan itu menurun ke anak-anaknya. Paman, bibi, ayah sampai cucu-cunya merokok. Budaya yang benar-benar tidak melihat usia dan gender.
Kakek dan nenek saya merokok. Kebiasaan itu menurun ke anak-anaknya. Paman, bibi, ayah sampai cucu-cunya merokok. Budaya yang benar-benar tidak melihat usia dan gender.
Bahkan, ibu saya sempat menjadi perokok berat. Sehari bisa habiskan 1-2 bungkus. Meskipun semenjak sakit parah beliau akhirnya berhenti (sepertinya hampir semua perokok akan berhenti dengan sendirinya kalau sudah berhadapan dengan penyakit).
Ketika saya memutuskan untuk menjauhi rokok, secara tidak langsung saya telah memutus rantai budaya merokok di keluarga besar saya. Generasi saya, seperti saudara, keponakan, memang masih ada beberapa yang merokok.
Tapi itu sedikit lebih baik karena hanya sebagian kecil dari pihak laki-laki saja yang masih melanjutkan "tradisi" merokok. Dan bagusnya, generasi wanita-wanitanya, saya rasa tidak ada yang merokok.
Tapi itu sedikit lebih baik karena hanya sebagian kecil dari pihak laki-laki saja yang masih melanjutkan "tradisi" merokok. Dan bagusnya, generasi wanita-wanitanya, saya rasa tidak ada yang merokok.
Menghentikan budaya merokok bagi saya itu penting. Sebab rokok punya lebih banyak mudharotnya daripada manfaatnya. Meskipun para perokok pasti punya seribu dalih untuk membenarkan apa yang mereka lakukan.
Tapi bagi saya memilih untuk hidup sebagai non- merokok adalah keputusan yang tidak salah. Saya tidak mau berdebat dengan para perokok aktif yang argumentasinya pasti membela dan subjektif.
Tapi bagi saya memilih untuk hidup sebagai non- merokok adalah keputusan yang tidak salah. Saya tidak mau berdebat dengan para perokok aktif yang argumentasinya pasti membela dan subjektif.
Mereka masih mendebat dengan argumen soal kontribusi pajak negaralah, menutupi biaya BPJS lah dan seterusnya. Pada akhirnya debat soal perokok dan non-perokok tidak akan ada habisnya.
Bagi saya persoalan ini cukup berjalan masing-masing saja. Yang tidak merokok tetap pada pendiriannya dan yang suka merokok ya silahkan merokok saja.Tidak perlu mendebatkan mana yang lebih baik. Yang jauh lebih penting adalah jangan menganggu haknya masing-masing.
Yang tidak merokok, tolong beri haknya untuk mengirup udara bebas tanpa terkena asap dari para perokok. Itu sudah konsekuensi. Di tempat publik sudah jelas bahwa di beberapa tempat sudah ada larangan merokok. Maka taatilah aturan tersebut.
Diluar tempat itu ya silahkan merokok sepuasnya karena itu hak mereka. Toh yang kena dampak penyakit ya si perokok juga. Jadi jangan berbagi penyakit kepada non-merokok. Selesai.
Foto: Kumparan
Foto: Kumparan
Tidak ada komentar: