Berhemat dalam Batas Wajar
Pada prakteknya, hidup hemat itu memang susah. Prilaku hedonis dan konsumerisme yang tinggi jadi budaya yang susah di hilangkan.
Ada yang bilang, orang chinese atau mereka yang punya darah keturunan tionghoa itu rata-rata pelit. Padahal itu stereotip yang salah.
Kenyatannya, banyak juga dari mereka yang loyal soal uang. Tidak segan mengeluarkan isi dompetnya untuk orang yang mereka anggap loyal juga.
In real life, saya sering di sama-samakan dengan orang chinese. Bukan karena fisiknya, tapi karena cara saya mengatur uang yang mirip seperti stereotip mereka.
Padahal saya tidak pelit, tapi hemat. Atau lebih tepatnya sangat memperhitungkan mana uang yang masuk dan mana uang yang keluar dari isi dompet saya.
Sehemat-hemat saya, tapi tidak akan melebihi kehematan teman saya yang biasa beli satu ayam serundeng, lalu serundengnya di simpan untuk makan siang dan malam. Jadi dia tidak usah mengeluarkan uang lagi untuk 3 kali makan dalam sehari.
Tapi saya rasa dia bukan hemat, tapi lebih ke miskin campur melarat. Meskipun saya meledeknya, toh pada akhirnya saya ikut-ikutan juga.
Faktanya, serundeng ayam itu memang enak. Apalagi kalau di campur nasi + kerupuk. Itu perpaduan yang nikmat.
Nikmatnya sama seperti makan nasi panas, telor cemplok dan kerupuk di campur sambal terasi. Nikmat luar biasa. Jadi, pada dasarnya saya dan teman saya memang berbakat jadi orang susah.
Kadang, saya kesal kalau melihat orang yang hidupnya lebih besar pasak daripada tiang. Saya suka mikir, kenapa mereka bisa maksa ingin hidup senang dengan cara berhutang?
Padahal kalau bisa menahan diri dari segala keinginan, mereka tidak akan dipusingkan dengan hutang.
Ini konteksnya beda ya dengan hutang untuk keperluan bisnis. Kalau itu hutang yang masih bisa dimaafkan. Tapi kalau hutang untuk memenuhi keinginan saja, sampai kapanpun tidak ada ujungnya.
Malah akan membuat hidup makin sengsara. Di lilit hutang itu tidak enak. Bikin setres, banyak pikiran. Keluarga saya pernah ada di posisi itu dan mungkin itu yang jadi salah satu alasan kenapa saya berusaha mengubah mindset saya soal uang.
Saya tidak mau seperti orang tua saya yang dulu gagal dalam mengatur keuangan sampai sering terjerat hutang. Saya ingin lebih pintar dalam mengatur keuangan saya sendiri.
Dalam beberapa hal, orang tua saya lebih suka berhutang daripada menahan keinginan untuk membeli sesuatu. Tapi akhirnya malah pusing sendiri karena tidak punya back up untuk membayarnya.
Sampai sekarang saya masih belajar agar tidak boros. Yang biasa saya lakukan adalah dengan mengurangi keinginan-keinginan saya sehingga pengeluaran jadi tidak jebol. Prakteknya memang susah.
Saya pun pernah merasa kalap dengan segala macam produk yang di jual di online shop. Sampai saya mencoba realistis dan menghapus semua aplikasi belanja Shopee dan Tokopedia agar saya tidak tergoda untuk membeli sesuatu.
Bukan hanya soal barang, makanan pun, meski harganya tidak sefantastis produk elektronik, tapi sangat mungkin bikin dompet bangkrut. Jajan makanan itu tidak akan terasa. Tahu-tahu sadar di akhir kalau uang sudah menipis. Padahal masih tanggal muda.
Biasanya saya mensiasatinya dengan cara-cara berhemat yang masih manusiawi. Saya tidak akan menyiksa perut saya dengan makan mie instan terus menerus.
Saya akan tetap mengkombinasikan antara makanan yang memang ideal secara gizi maupun makanan yang hanya bikin kenyang. Mengusahakan agar tetap makan enak, tapi harganya tetap waras dengan isi dompet.
Saya pun berhemat dengan cara kurangi konsumsi kopi dan minuman manis yang sekarang ini sedang tren atau minuman botolan di minimarket.
Kemudian saya membiasakan diri minum air putih saja. Untuk orang seperti saya yang setiap hari tidak bisa lepas dari kopi dan minuman manis, cara ini merupakan cara yang sulit.
Tapi saya sadar, cara ini selain bisa menghemat pengeluaran, juga bisa meningkatkan kesehatan saya karena air putih tidak mengadung pengawet dan gula. Walaupun boba dan thaitea lebih nikmat, tapi dari sisi kesehatan jauh lebih sehat air putih. Sehat di tubuh dan sehat di dompet.
Setiap orang pasti punya cara tersendiri dalam berhemat. Dan sah-sah saja selama cara berhematnya tidak menyusahkan diri sendiri. Yang terpenting kembali pada niat. Kalau niatnya ingin memperbaiki finansial, berhemat bukan jalan yang salah.
Justru dengan belajar berhemat, bisa mendidik saya agar lebih bijak dengan uang dan saya jadi bisa menghargai setiap jerih payah mereka yang bekerja keras mencari nafkah.
Tidak ada komentar: