Bergaya dengan Budaya yang Bersebrangan
Seperti wanita kekinian pada umumnya, Ranisa menyukai hal-hal yang berhubungan dengan budaya pop dari korea selatan. Dia menonton film, drama series sampai mendengarkan lagu-lagu kpop. Dia bukan hanya penikmat korean Wave, tetapi juga megadaptasi cara berpakaian mereka.
Ranisa membeli beberapa pakaian yang catchy. Diantaranya sebuah t-shirt yang bahannya mirip sweater (saya lupa namanya apa), memiliki potongan bagian perut yang pendek sehingga kalau tangannya di angkat sedikit, bagian perutnya akan terlihat.
Dia juga membeli sebuah rok pendek khas seragam sekolah korea. Rok tersebut memang benar-benar pendek sampai di atas lutut.
Ranisa senang karena berhasil membeli sepasang dresscode tersebut di online shop. Baginya, mengikuti cara berpakaian wanita korea akan membuatnya lebih cantik.
Akhirnya ia bisa merasakan sendiri fashion style korea yang sebelumnya hanya bisa ia lihat scene film dan music video. Tapi tak lama setelah Ranisa memakainya, ia sadar kalau dia kurang pantas menggunakan pakaian itu.
Bukan karena tidak cocok dengan tubuhnya, tapi Ranisa sadar kalau pakaian ini ia gunakan ke luar rumah, pasti akan jadi bahan gunjingan orang-orang. Sebab ia tahu kalau pakaiannya terlalu terbuka.
Di korea sana, pakaian yang Ranisa beli itu sebetulnya masih dibilang wajar. Di negeri gingseng sana, rok pendek di atas lutut bukan sesuatu yang dianggap terlalu seksi.
Tapi karena Ranisa tinggal di daerah yang nilai agamanya kental (kalau tidak mau dikatakan konservatif). Pasti ia akan kenal sanksi sosial jika seandainya menggunakan pakaian ala korea itu di tempat umum.
Mungkin akan lain cerita kalau dia tinggal di daerah yang budaya berpakaiannya lebih bebas seperti Bali atau bahkan luar negeri yang mana batas kesopanan dalam berpakaian berbeda dengan yang ada di daerahnya.
Beda budaya tentu beda pola pikirnya dalam melihat pakaian mana yang disebut sopan dan mana yang sebaliknya. Saya tinggal di kota yang nilai kesopanan berpakaiannya sama dengan Ranisa.
Jadi, jangankan pakaian korea seperti itu, wanita muslim yang keluar pakai kaos omblong dan celana pendek saja bisa jadi bahan gunjingan satu kompleks.
Padahal kalau wanita itu tinggal di kota besar misalnya, hanya pakai kaos tanpa lengan sekalipun tidak akan jadi masalah.
Cerita Ranisa merupakan kisah yang dialami oleh seorang teman di Facebook. Ceritanya mungkin tidak sama persis, sedikit saya hyperbolakan, tapi esensinya tetap sama.
Saya merasa apa yang dialami Ranisa bukan fenomena yang aneh. Saya yakin diluar sana ada banyak wanita yang kisahnya mirip dengannya.
Mereka adalah wanita-wanita yang senang bergaya dengan mengadaptasi budaya luar tapi belum menyadari bahwa budaya tersebut tidak bisa diaplikasikan dengan budayanya sendiri. Setidaknya untuk saat ini.
Jika budaya luar itu dipaksakan, akan terjadi gesekan budaya yang belum tentu diterima oleh semua masyarakat. Untungnya, Ranisa langsung sadar tentang kesalahannya sebelum benar-benar ia kenakan di tempat umum. Walaupun masih terbilang telat juga.
Sebelum memutuskan untuk membeli pun, harusnya Ranisa sudah sadar kalau dia tidak mungkin memakai dresscode itu keluar rumah.
Pada akhirnya Ranisa yang rugi sendiri karena barangnya sudah dibeli, tapi tidak bisa digunakan. Kalau pun dijual harganya pasti akan turun. Tapi ya itu sudah konsekuensinya. Dilain waktu, dia mungkin akan berpikir dua kali untuk membeli pakaian lagi.
Dalam kasus ini, saya tidak sedang membicarakan apakah pakaian ala korea yang Ranisa gunakan itu salah atau benar. Toh masalah cara berpakaian saya rasa hak prerogatif setiap individu.
Namun masalah yang saya singgung adalah sebatas ketidaktahuan Ranisa tentang nilai-nilai yang ada di lingkungannya. Menyenangi cara berpakaian orang asing saya rasa tidak salah.
Tapi jika seseorang memutuskan untuk menirunya, ya pastikan juga pakaian tersebut tidak menabrak nilai atau budaya dimana kita tinggal.
Tidak ada komentar: