Menghadapi Perdebatan di Internet
Pada suatu waktu, saya pernah ikut berkomentar pada sebuah berita di internet. Baru saya di tinggal beberapa jam, yang balas komentar sudah puluhan akun.
Ada yang mengkritik komentar saya, tapi lebih banyak orang yang saling berdebat. Ada yang berkomentar dalam batas wajar, tapi ada juga yang pakai bahasa binatang. Saya jadi mempertanyakan, kenapa netizen malah bertengkar di postingan komentar saya?
Saat saya berkomentar tentang A, balasannya lebih banyak yang berkomentar tentang B. Apalagi semakin saya scroll ke bawah, komentarnya jadi bahas X sampai Z. Ini aneh.
Banyak orang berdebat di dalam kolom komentar, tapi isinya melebar kemana-mana. Komentar yang awalnya bermaksud menanggapi komentar pertama, akhirnya menjadi saling berbalas komentar yang keluar dari konteks.
Ketika komentar saya di balas ratusan akun, saya tidak mau menanggapinya terus menerus. Sebab saya tahu perdebatan ini tidak akan ada titik temunya. Lebih baik saya mundur dari keributan online. Selain karena cinta perdamaian, saya merasa tidak ada gunanya juga.
Dulu, saya pernah menjadi orang yang suka berdebat di internet. Itu di awalu ketika 2 tahun yang lalu saya sedang sering-seringnya menulis artikel agama dan politik. Dan saya menyadari tulisan seperti itu selalu memicu perdebatan sengit.
Setiap kali ada komentar negatif, saya jawab semua komentar itu dengan tanggap. Akhirnya perdebatan panjang tidak bisa dihidari. Tapi kemudian saya sadar, perdebatan itu tidak akan ada ujungnya. Malah hanya buang-buang waktu saja.
Bagaimana tidak buang-buang waktu kalau sepanjang hari pekerjaan saya hanya berbalas komentar negatif dari netizen. Sedangkan waktu yang saya gunakan untuk membalas komentar seharusnya bisa saya gunakan untuk hal-hal yang lebih bermanfaat.
Dalam sebuah perdebatan online, tidak ada pihak yang mau mengalah. Kedua-duanya pasti merasa paling benar. Saya merasa benar dengan argumen saya, dan mereka merasa benar dengan argumennya.
Lalu siapa yang salah? Tidak ada. Ujung dari perdebatan selalu berakhir pada pembenaran. Tidak ada pihak yang merasa ingin disalahkan.
Perdebatan tersebut sebenarnya bukan mencari kebenaran yang utama, tapi lebih pada menaikkan ego masing-masing. Kita merasa punya ilmu yang mumpuni untuk menyanggah argumen orang lain. Namun lupa kalau kita berdebat di tempat yang salah.
Kalaupun komentar seseorang terlihat ngotot, lebih baik mengalah dan meng-iya-kan saja. Biasanya saya biarkan mereka berkomentar sesuai apa yang mereka yakini benar dan saya tetap pada pendapat saya sendiri.
Namun di sisi lain saya selalu membuka peluang orang lain untuk mengkoreksi argumen saya. Dalam artian, saya ingin memposisikan diri saya sebagai orang yang masih perlu banyak belajar.
Sehingga, yang muncul bukan hanya perdebatan tapi saling diskusi. Maka dari itu, kritikan yang muncul pada setiap tulisan yang saya buat, tidak pernah saya hapus. Saya tetap membacanya, namun berusaha tidak membalas agar meminimalisir perdebatan.
Setelah 2 tahun berlalu, saya tidak pernah lagi membuat tulisan tentang agama dan politik. Bukan karena ingin cari aman, tapi saya merasa tenaga saya sering terkuras habis memikirkan setiap ide tulisan yang kontennya terlalu sensitif.
Saat ini, saya lebih memprioritaskan menulis konten yang bisa menghibur diri saya sendiri. Selain itu, kegelisan saya soal dua topik sensitif itu sudah jauh berkurang.
Sekarang saya lebih suka jadi penikmat tulisan agama dan politik saja, tapi tidak ada keinginan untuk membuat tulisannya. Setidak sampai saat ini. Tapi entah kedepannya mungkin saya bisa berubah pikiran.
Diluar tulisan agama dan politik, saya sudah tidak mau berurusan lagi dengan perdebatan di internet. Kalau ada yang berkomentar tidak setuju atau tidak suka dengan tulisan saya, maka akan saya balas seperlunya.
Kalau pun sampai saat ini masih sering menulis komentar di internet, itu sekedar untuk mengeluarkan opini saja.Tapi jika komentar saya lagi-lagi di tanggapi puluhan bahkan ratusan komentar, lebih baik dibiarkan saja. Toh tidak akan membuat saya rugi juga kan?
Tidak ada komentar: