Terlalu Ramah Bisa Jadi Masalah
Nisa, teman adik saya bercerita kalau dia sempat tidak jadi buat rekening di salah satu bank swasta B karena Costumer service-nya terlalu banyak bicara.
Dilain waktu, temannya yang lain memberi respon lucu ketika CS-nya mengatakan, "Mas, kalau ada pihak kami yang menghubungi, tolong beri nilai tertinggi 5 ya." Kemudian dia menjawab, " 2 aja deh kak. Habis kakak cerewet."
Memang benar CS dari bank B itu sudah terkenal dengan pelayanannya yang ramah. Bahkan sampai ada meme yang isinya mengatakan CS (Costumer Service) dan satpam bank B punya pelayanan terbaik dibandingkan bank-bank lainnya. Salah satunya soal keramahan CS dalam melayani nasabah.
Seminggu yang lalu saya pun datang ke bank B untuk mengurus sesuatu. Seperti biasa, CS melayani saya dengan sangat ramah.
Selain bertanya soal keperluan saya datang kesana, CS tersebut juga bertanya dimana saya kuliah, jurusan apa, semester berapa, sudah makan atau belum (oke, yang terakhir hanya halu).
Karena terlalu banyak basi-basi, setiap nasabah yang dilayani bisa sampai 15-20 menit. Padahal, waktu itu saya hanya minta mengaktifkan layanan finansial saja. Namun karena CS-nya selalu kepo dengan kehidupan pribadi nasabahnya, pelayanannya jadi lama.
Selama CS itu berbicara, saya hanya ngangguk-ngangguk saja. Cara bicaranya cepat dan saya tidak begitu peduli dengan pembicaraan basa-basi tersebut. Jadi kebutuhan nasabah yang sederhana bisa jadi rumit karena CS-nya terlalu banyak bicara pada hal-hal diluar kebutuhan nasabah.
Saya tahu, apa yang dilakukan CS merupakan bagian dari cara mereka memberikan kesan positif. Itu juga jadi semacam SOP dari pihak bank untuk melakukan pelayanan yang prima. Hal ini juga terjadi pada bank lainnya meskipun diakui tidak separah bank swasta ini.
Dalam cerita berbeda, saya pernah bertemu dengan driver online yang dari awal duduk sampai ke tempat tujuan, mulutnya tidak mau berhenti bicara.
Jujur, saya mengapresiasi sikapnya yang ramah. Tapi akan jadi masalah karena saya memang kurang suka dengan obrolan basi-basi yang kadang tidak ada isinya.
Dalam kehidupan sehari-haripun, saya cenderung menghindari orang-orang yang obrolannya hanya formalitas. Untuk sekedar memilih tempat makan pun, saya berusaha cari pelayan atau owner yang tidak banyak bicara.
Bahkan saya bisa pindah dari tempat makan A ke tempat makan B karena kurang nyaman dengan pelayan yang sering mengajak ngobrol kalau saya sedang nikmat-nikmatnya makan.
Tapi ini sangat subjektif ya. Sebab ada sebagian orang yang merasa dihargai dengan sikap ramah mereka. Tapi tidak sedikit juga orang yang malah risih dan terganggu.
Kalau suatu saat saya bekerja di bidang yang mengharuskan saya melayani konsumen, mungkin saya akan ambil jalan tengah. Kalau konsumen tersebut tidak banyak merespon pembicaraan, bisa jadi artinya mereka tidak nyaman. Jadi saya akan segera menghentikan obrolan.
Namun sebaliknya, kalau konsumen terlihat antusias dengan oborolannya bahkan mungkin interaksinya bisa seimbang, sudah cukup dipastikan kalau mereka nyaman dengan basi-basi tersebut.
Intinya, mereka yang sedang melayani konsumennya harus lebih peka pada situasi. Harus pintar-pintar melihat kondisi konsumennya. Sebab nyaman itu bisa jadi berbeda-beda pada setiap orang.
Ada yang nyaman di perlakukan ramah, diajak ngobrol tentang hal-hal sepele. Tapi ada juga yang nyaman kalau pelayannya tidak banyak bicara dan hanya melayani seperlunya saja.
Mungkin ini tidak hanya berlaku pada hubungan antar pelayan dan konsumen. Mungkin bisa juga diterapkan saat mengajak ngobrol gebetan. Kalau gebetan antusias dengan semua obrolan basa-basi kamu, artinya dia sudah kasih lampu hijau.
Tapi kalau gebetan lebih banyak diam dan hanya ngangguk-ngangguk saja, artinya kamu harus berhenti mengajaknya bicara. Itu pertanda kalau gebetan ingin berkata, "Jangan ajak aku ngobrol lagi. mundur aja mas, kamu jeleq."
Ya, kira-kira begitu.
Tidak ada komentar: