Standar Kebahagiaan
Rudi adalah seorang buruh di sebuah pabrik sepatu. Seperti buruh pada umumnya, Rudi ingin sekali gajinya naik. Setiap tahun, ia selalu ikut berpartisipasi dalam aksi hari buruh. Tuntutan yang paling sering di angkat adalah kenaikan gaji atau kenaikan upah minimum di daerahnya.
Namun dua tahun terakhir ini, Rudi tidak lantang menyuarakan kenaikan gaji lagi. Ia tetap berpartisipasi dalam aksi, tapi lebih diniatkan sebagai solidaritasnya sebagai buruh. Tuntutan kenaikan upah bukan jadi prioritas utamanya.
Setidaknya itu yang dilakukan Rudi untuk dirinya sendiri. Bukan bermaksud tidak mendukung terhadap tuntutan buruh lainnya, tapi ia mencoba menerima semua yang sudah ia miliki sekarang.
Rudi bersyukur kalau dirinya sudah memiliki pekerjaan tetap. Ia ingat, ada tetangganya yang sudah 3 tahun lulus SMA masih belum mendapat pekerjaan. Mendengar cerita itu, Rudi sangat bersimpati karena dulu ia pernah ada posisinya.
Setiap kali mendengar cerita temannya yang masih menganggur, ia bersyukur kalau dia masih punya pekerjaan. Bagi Rudi yang hanya lulusan SMA, mendapat pekerjaan dengan gajinya sekarang sudah cukup membiayai kebutuhan orang tua dan adiknya. Meski beberapa keinginan belum terpenuhi, tapi ketika kebutuhan sudah tercukupi, itu saja sudah jadi kebahagiaan besar baginya.
Orang seperti Rudi merupakan contoh sosok yang menempatkan kebahagiaan pada level yang tidak tinggi, tapi dari level itu ia bisa tetap merasakan kebahagiaan luar biasa. Bagi sebagian orang, kehidupan Rudi saat ini merupakan posisi yang masih pas-pasan. Dia belum memenuhi standar kebahagiaan yang dibentuk banyak orang.
Namun yang jadi pertanyaan, apa benar kebahagiaan itu punya standar? Sadar atau tidak kita mengakuinya ada. Kenyataannya standar itu muncul dari apa yang kita lihat di lingkaran pertemanan dan lebih menguat lagi di media sosial.
Apa yang sering kita lihat di instagram seringkali jadi patokan kebahagiaan yang paling ideal. Teman-teman kita di media sosial telah membentuk standar kebahagiaannya sendiri.
Jika seseorang melihat kebahagiaan teman-temannya dari seberapa sering mereka liburan, seberapa romantisnya mereka dengan pasangannya, atau barang apa saja yang sanggup mereka beli. Itu yang kemudian akan jadi standar kebahagiaannya.
Kebahagiaan itu sebetulnya tidak ada standarnya. Tapi lingkungan sosial kita yang sengaja atau tidak telah membentuk standar itu sendiri.
Seseorang yang merasa bahagia jika bisa liburan ke luar negeri, maka orang lain yang melihat hal itu sebagai sesuatu kebahagiaan akan menirunya sebuah standar ideal. Kalau standar kebahagiaannya punya kendaraan mahal, maka sebagian orang akan menganggap bahagia itu kalau punya kendaraan mahal juga.
Masalahnya, jika standar kebahagiaanya tidak bisa di capai, kita akan menvonis kalau kita sedang tidak bahagia. Apalagi jika seandainya kemampuan finansial kita dan orang yang di jadikan standar kebahagiaan tidak sama. Misalnya punya Gaji UMR, tapi standar kebahagiaannya gaji direktur.
Bagi beberapa orang mungkin sah-sah saja. Dalam arti, ada orang yang punya standar kebahagiaan yang tinggi, lalu dia jadi termotivasi untuk mendapat penghasilan yang tinggi agar mencapai standar kebahagiaan yang dia targetkan.
Tapi saya tidak begitu setuju. Saya lebih memilih untuk menurunkan standar kebahagiaan itu pada mereka yang secara sosial atau finansial di bawah saya.
Meski hakekatnya standar kebahagiaan itu tidak ada. Tapi setiap orang secara alami pasti selalu punya role model untuk dijadikan contoh bagaimana seseorang menjalani kehidupannya.
Jadi, jika kita merasa standar kebahagiaan itu sulit dilepaskan dari mindset, maka jangan simpan standar itu terlalu tinggi. Alangkah lebih baik jika standar itu ditempatkan di bawah kita. Seperti kasus Rudi, standar kebahagiaan yang tidak tinggi membuat kita bisa lebih banyak bersyukur.
Hal-hal yang sudah kita miliki sudah cukup membuat kita jauh lebih bahagia dari sebelumnya. Lagipula, apa kita tidak lelah mengejar standar kebahagiaan yang tinggi sedangkan keadaan kita sekarang misalnya tidak mampu mencapai standar tersebut dalam waktu dekat?
Untuk menyadari bahwa kebahagiaan itu sebetulnya ada di sekitar kita maka memang harus sering-sering lihat ke bawah. Mensyukuri lebih dekat hal-hal yang belum orang lain dapat, tapi kita sudah lebih dulu mendapatkannya.
Dalam hal ini, bukan berarti kita mencoba sombong kepada orang lain karena posisi kita sekarang. Tapi itu cara sederhana kita memaknai arti kebahagiaannya yang sebenarnya.
Kalau kita bisa bahagia dengan hal-hal yang sudah kita miliki sekarang, buat apa ngotot dengan kebahagiaan yang belum bisa kita dapatkan? Kalau terus-menerus mengejar standar kebahagiaan yang jauh dari keadaan sekarang, lalu kapan kita mau bahagianya?
Tidak ada komentar: