Berada di Ujung Kematian
Suatu hari saya berada di dalam bus yang akan membawa saya ke suatu tempat. Di tengah perjalanan, salah satu penumpang bertindak gila. Dia membawa pistol dan menembakan pelurunya secara membabi buta. Semua penumpang takut dan berhamburan keluar.
Saya pun ikut ketakutan dan lari menjauhi bus yang saya tumpangi. Anehnya orang itu seperti menargetkan saya untuk jadi korban tembakannya. Ia mengejar saya. Saya kabur, lalu bersembunyi di antara parkiran mobil.
Namun nampaknya dia tahu dimana saya. Dia menatap saya dengan tatapan tajam. Saya lari ke sebuah SPBU dan mencari tempat yang aman. Namun dia terus mengejar saya.
Akhirnya saya pergi ke belakang SPBU dan naik ke tembok pembatas. Saya segera melompat dan jatuh ke sebuah area persawahan. Saya terus berlari dan berlari sejauh-jauhnya.
Sebetulnya cerita ini tidak nyata. Ini hanya mimpi buruk saya semalam. Saya bangun dari tidur dan bersyukur kalau ini cuma mimpi. Kemudian saya pergi ke kamar mandi untuk cuci muka dan buang air kecil.
Saya kembali ke tempat tidur, melentangkan badan saya yang masih setengah sadar sambil menatap langit-langit kamar yang gelap. Saya terdiam dalam lamunan panjang, lantas berpikir kalau mimpi semalam itu menyadarkan saya satu hal: ketakutan pada kematian itu terasa sangat yang nyata.
In real life, saya pernah mengalami perasaan kalau saya sudah mendekati kematian. Hal itu pernah saya rasakan seminggu lalu ketika saya DBD. Badan saya lemas dan tidak bisa melakukan apa-apa selain terbaring di tempat tidur.
Saya merasa sepertinya umur saya tidak akan lama. Tapi syukurlah setelah bedrest selama dua minggu akhirnya saya bisa sehat kembali.
Saat kecil saya pun pernah mengalami kejadian hampir mati. Saya tenggelam di tengah pantai yang lumayan dalam. Kala itu saya hampir kehabisan nafas. Sekian detik saya tenggelam, pikiran saya mengatakan bahwa tidak akan ada orang yang menyelamatkan saya. Sampai suatu ketika ada seseorang yang menolong dan membawa saya ke pesisir pantai.
Saya selalu ingat kejadian dimana saya hampir mati. Dan ketika saya mengingatnya, saya selalu berpikir bahwa jika saya mati, semua hal yang saya miliki akan sia-sia. Dalam arti, semua pencapaian hidup saya tidak ada apa-apanya dan tidak akan punya nilai kalau saya sudah mendekati ajal.
Seperti yang sering saya dengar dari pemuka agama bahwa harta, tahta dan apapun yang kita punya tidak akan dibawa mati kecuali amalan-amalan kita selama di dunia.
Bagi saya kata-kata itu terdengar klise, tapi saya baru akan merenunginya secara mendalam ketika saya dihadapkan pada hal-hal yang mendekatkan saya pada kematian.
Ketika virus Corona datang, hal pertama yang saya pikirkan adalah kematian. Sama seperti orang pada umumnya, saya mempersiapkan segala hal agar saya bisa terhindar dari COVID-19.
Saya mengikuti anjuran WHO untuk selalu menjaga kebersihan. Saya mengikuti anjuran pemerintah untuk mengisolasi diri di rumah. Semua itu dilakukan untuk menghindari kematian.
Hakekatnya kita semua takut mati kan? Kematian adalah kenyataan buruk yang pasti akan terjadi pada semua orang. Kita yang masih hidup pasti akan meninggalkan kehidupan juga.
Bagi saya yang muslim, saya percaya kehidupan setelah kematian. Maka seyogyanya saya beriktiar untuk selalu berbuat kebaikan agar ketika saya menghadap sang pecinta, sebagian besar hidup saya bisa di pertanggung jawabkan. Kedengarannya memang seperti ceramah. Setiap waktu pasti kita sering mendengar kata-kata itu dari pemuka agama.
Tapi kita cenderung lengah atas nasehat- nasehat itu karena ego kita dan keserakahan kita selama di dunia yang lebih sering mengabaikannya. Semua nasehat baik tak lantas membuat kita kembali ke jalan yang benar.
Nampaknya, kita baru akan kembali lurus dan lebih banyak menyadari tentang pentingnya kebaikan ketika dihadapkan pada kematian. Butuh renungan yang panjang agar kita lebih sering mengingat tentang kematian.
Pada akhirnya, di tengah kesibukan kita pada dunia, kita semua sebetulnya sedang menunggu giliran. Kita semua sedang mengantre untuk mendapat tiket masuk ke alam bernama kematian.
Tidak ada komentar: