Bersyukur di Masa Pandemi
Di instastory, WhatApp, Facebook, ataupun Twitter, banyak orang mengeluh soal bosannya berlama-lama tinggal di rumah. Saat ini, rumah bukan lagi tempat untuk melepas lelah, tapi jadi tempat persinggahan yang membuat orang tidak betah.
Ketika anak rumahan seperti saya saja sudah mengeluh bosan, itu artinya level kebosanannya sudah sangat akut.
Saya tidak bisa membayangkan betapa orang-orang extrovert diluar sana tersiksa karena harus menyetop interaksi dengan banyak orang. Padahal mereka bisa mendapatkan mood-nya dari setiap pertemuan dengan sesama manusia.
Mau menyalahkan Corona, ya percuma. Mau di debat dan di kritik pun sia-sia. Toh mereka bukan pemerintah atau lawan politik saya. Mau marah dengan keadaan, tapi ini bukan situasi yang bisa saya kendalikan.
Namun suatu waktu saya merasa seperti di tampar ketika melihat ada orang tetap semangat bekerja bahkan berbagi rezekinya disaat keadaan ekonominya menurun. Mereka terpaksa bekerja di luar rumah karena harus cari uang. Kalau memaksakan diri untuk "di rumah aja" rasanya tidak mungkin.
"Kalau gak keluar rumah, terus besok kita mau makan apa?" begitu katanya.
Ada banyak privilese atau keistimewaan yang baru saya sadari di tengah pandemi ini. Saya merasa saya masih beruntung karena keadaan ekonomi orang tua saya cukup untuk memenuhi semua kebutuhan sehari-hari. Tidak mengalami PHK, penghasilan tetap, bahkan punya jamiman THR, itu sudah lebih dari cukup.
Jangankan soal urusan makan, sesederhana mengikuti himbauan WHO dan pemerintah untuk selalu cuci tangan saja itu sudah termasuk keistimewaan. Saya baru sadar bahwa di beberapa daerah di indonesia, cuci tangan saja masih susah karena kesulitan mengakses air bersih.
Di bidang pendidikan pun sama. Ada sebagian orang yang haknya berkurang karena harus stay at home. Disaat sebagian murid sekolah mengeluh karena belajar online, justru di satu daerah ada seorang guru yang mendatangi satu persatu muridnya karena mereka tidak punya smartphone untuk belajar online.
Jadi keluhan-keluhan kita soal boring di rumah mestinya dikurangi. Di masa pandemi, stay at home memang jadi sangat membosankan.
Tapi kita mesti ingat, kita hanya sedang dibunuh kebosanan. Sedangkan mereka yang hidupnya pas-pasan, harus terancam dengan serba kekurangan, kelaparan, bahkan kematian.
Saya sendiri sadar bahwa cobaan hidup saya di masa pandemi ini cuma bosan. Tidak ada apa-apanya dengan orang lain yang cobaannya lebih rumit dari saya.
Dalam hal ini tentu saja saya patut banyak-banyak bersyukur. Bukannya mengeluh karena tidak bisa beraktivitas normal. Yang perlu saya fokuskan justru apa yang bisa saya lakukan dengan aktivitas di rumah aja ini.
Saya bisa memaksimalkan waktu luang yang luar biasa banyak ini untuk lebih produktif dan melakukan hal yang sebelumnya tidak pernah dilaksanakan karena alasan tidak ada waktu.
Masa ini merupakan waktu yang tepat untuk merenungi tujuan-tujuan hidup dan meluruskan mimpi yang sempat belok tanpa arah. Waktu luang yang panjang bisa digunakan untuk mengubah rencana yang gagal, lalu menggantinya dengan rencana baru.
Ada banyak hal yang bisa saya ubah cara pandangnya. Bukan dengan keluhan, tapi dengan menyadari bahwa saya punya privilese yang belum tentu dimiliki semua orang. Dengan begitu, bersyukur di tengah pandemi adalah kunci dari segalanya.
Tidak ada komentar: