Kerja Keras dalam Takdir
Ada masanya dimana saya mempertanyakan kerja keras saya selama ini. Saya merasa kerja kerasnya sudah besar, tapi kenapa hasilnya biasa-biasa saja? Saya semakin percaya bahwa ada kerja keras yang mengkhianati hasil.
Meski begitu, saya tahu bahwa hasil yang tidak memuaskan merupakan sebuah kewajaran. Bukan sesuatu yang perlu didefinisikan sebagai ketiadakadilan. Kita gagal dalam memperjuangkan satu pencapaian, tapi menyerah bukanlah pilihan.
Kemudian saya mencoba mengevaluasi diri. Apa kerja keras ini belum ada apa-apanya dibandingkan dengan kerja keras orang lain? Apa saya salah memaknai kerja keras selama ini?
Atau sebetulnya bukan kerja keras yang saya butuhkan, tapi ada faktor lain yang ikut membantunya? Semua pertanyaan ini masih berputar-putar di kepala saya.
Saya rasa Ini bukan terjadi pada saya saja. Mereka yang sedang mengejar mimpinya, bergelut dengan passion atau sedang fokus dengan bisnisnya, pasti pernah merasakan hasil yang tidak memuaskan, padahal kerja kerasnya sudah habis-habisan.
Ada yang menemukan banyak kegagalan, kekalahan, kerugian, bangkrut, ditipu, terlilit hutang. Padahal kurang apa lagi kerja kerasnya? Satu persatu di korbankan. Harta, waktu, bahkan mungkin harga diri.
Pertanyaan yang selama ini sangat menjanggal di pikiran saya. Kenapa ada orang yang kerja kerasnya besar, tapi hasilnya kecil. Ada pula orang yang kerja kerasnya kecil, tapi hasilnya besar. Atau, ada dua orang yang kerja kerasnya sama, tapi hasilnya berbeda.
Saya belum menemukan jawaban paling memuaskan selain kembali pada takdir. Itu kesimpulan yang paling mudah di jawab semua orang. Sebab di dalam takdir ada keberuntungan yang telah garisnya Tuhan.
Nah, kalau kaitannya dengan takdir, siapapun tidak bisa mengelak. Itu sudah urusannya dengan sang pencipta dan sesuatu yang diluar kendali kita.
Masalahnya, tidak semua orang percaya takdir begitu saja. Ada juga yang percaya takdir bisa di ubah dan tidak sedikit yang meyakini bahwa doa juga punya kekuatan. Saya sangat setuju.
Namun satu hal yang lebih penting adalah saya percaya bahwa setiap orang punya jalan takdirnya masing-masing. Tugas kita hanyalah memastikan agar mimpi itu bisa tercapai. Di dalam kerja keras selalu ada faktor yang ikut mempengaruhi.
Misalnya kesabaran, keuletan, disiplin, dan konsisten. Tapi itu sesuatu yang masih bisa kita usahakan. Hal lain yang seringkali mengecewakan adalah privilese (keistimewaan). Lagi-lagi itu sangkut pautnya dengan takdir. Privilese tidak dimiliki semua orang. Dia terbatas dan eksklusif.
Salah satu yang paling menyebalkan dari privilese adalah kekuatan orang dalam. Tapi saya tidak bisa menganggap itu sebagai dosa besar karena pertama, orang dalam merupakan privilese yang sayang untuk dilewatkan.
Kedua, kalau saya ada di posisi orang ber-privilese, mungkin saya akan memanfaatkannya juga. Mungkin idealisme saya bisa luntur dengan menggunakan orang dalam sebagai jalan pintas untuk mencapai mimpi yang saya inginkan.
Tapi itu kan sekedar mungkin. Pada kenyataannya saya tak punya privilese apa-apa. Saya tidak punya orang dalam. Saya tak punya power untuk mendorong diri saya naik ke level teratas dalam waktu yang relatif singkat.
Oleh karena itu, orang-orang seperti saya hanya berpegang teguh pada hal-hal yang masih bisa saya usahakan. Kalau jalannya harus kerja keras, sampai kapanpun saya siap melakoninya. Kalau saya harus belajar sabar, ulet, konsisten dan disiplin, tentu saja akan saya lakukan.
Namun hal-hal yang tidak bisa saya usahakan karena alasan takdir, biarlah itu jadi urusan Tuhan. Saya percaya bahwa takdir yang baik akan mengikuti saya ketika kerja keras itu dilakukan dengan sungguh-sungguh.
Mungkin hari ini saya tidak bisa mendapatkan hasil yang saya inginkan. Tapi saya tidak tahu di masa depan akan seperti apa. Saya tidak mau terlalu optimis atau pesimis juga. Saya memilih mengalir saja.
Kalau takdirnya baik, tentu saja saya bersyukur. Namun jika takdirnya tidak sesuai dengan harapan, maka tidak ada yang bisa saya lakukan selain menerimanya dengan lapang dada.
Tidak ada komentar: