Ukuran Kebahagiaan yang Salah
"Daff, kenapa hidupmu senang-senang aja
kayak enggak punya masalah?"
Jujur saja, itu pertanyaan paling bodoh yang pernah saya dengar dari seorang teman. Mereka tidak pernah berpikir bahwa setiap orang pasti punya masalah yang tidak mungkin diperlihatkan ke ranah publik.
Tidak sedikit dari kita yang menyimpulkan sesuatu terlalu dini hanya karena melihat seseorang dari bagian depannya saja. Misalnya hal ini banyak terjadi di media sosial.
Media sosial merupakan cerminan terburuk dari realitas kita sekarang. Media sosial membuat orang berpikir bahwa si A lebih bahagia dari si B hanya karena si A lebih sering buat instastory liburan.
Padahal sering atau tidaknya update liburan ke media sosial bukan patokan untuk menilai kebahagiaan seseorang. Media sosial membentuk persepsi orang dengan menampilkan yang baik-baiknya saja.
Sedangkan yang buruknya tidak terekspos sama sekali. Sekarang coba kamu pilih. Pilih upload video mesra bersama pasangan atau upload video pertengkaran kamu dengan pasanganmu ke media sosial? Tidak perlu di jawab pun semua orang akan mengambil pilihan pertama.
Media sosial sejak awal memang diciptakan untuk membentuk citra sesuai dengan keinginan pemiliknya. Kalau ingin terlihat bahagia terus, silahkan perbanyaklah update liburan, jalan-jalan, foto makanan enak atau kemesraan bersama orang-orang tercinta.
Kenyataannya, memang semudah itu kalau kita ingin disebut 'kok isi hidupnya cuma bahagia aja ya. Gak punya masalah apa gimana?'.
Dulu, saya pun pernah berpikir hal yang sangat bodoh seperti itu. Saya merasa, "kok hidup mereka lebih bahagia dari saya ya?"
Padahal saya tidak tahu dibalik layar kehidupannya seperti apa. Saya tidak tahu sekeras apa usaha orang lain untuk sampai di titik sekarang.
Orang-orang yang saat ini terlihat sangat bahagia karena sukses secara karir maupun finansial, saya yakin mereka telah melewati berbagai macam pahit-manisnya kehidupan. Ketika melihat orang sukses (sukses dalam hal apapun itu) saya berusaha untuk tidak melihat kesuksesannya hanya dalam satu sisi.
Saya tidak melihat dari hasil yang sudah mereka capai. Tetapi, saya lebih suka melihat dari sudut pandang berbeda. Dalam pikiran saya, orang-orang sukses pasti punya momen terberat yang tidak semua orang mampu melewatinya.
Itulah kenapa ketika saya kagum dengan seseorang, saya suka mengulik tentang latar belakangnya. Saya yakin dari situ saya akan mendapatkan pelajaran yang berharga. Siapa tahu ada sisi inspiratif yang bisa memotivasi saya menjadi manusia yang lebih baik.
Saya suka dengan kata-kata Sivia Azizah yang mengatakan tubuhnya seperti punya tombol on/off. Ketika berada diluar rumah, dia menekan tombol off agar dia bisa lupa semua masalahnya.
Namun setelah pulang ke rumah, secara otomatis tombol off-nya berubah ke posisi on sehingga dia bisa mengingat kembali semua masalah.
Tombol on/off itu sebuah ilustrasi yang menarik. Sivia seperti orang yang bisa menempatkan antara masalah pekerjaan, kuliah dan masalah yang ada di rumah.
Dia bisa bersikap profesional dengan tidak membawa masalah dari satu tempat ke tempat lain. Namun tentu saja Sivia merasa seperti punya dua wajah yang berbeda antara dirinya di publik dengan dirinya di tempat yang private.
Dari cerita Sivia, sepertinya saya cukup relate. Ada banyak hal yang tidak bisa diceritakan dalam hidup. Tentang struggle-nya saya, tentang jatuh bangunnya saya, tentang masalah-masalah yang memang sebaiknya di simpan saja dan tidak jadi konsumsi banyak orang.
Saya lebih suka menceritakan intisarinya lalu diabadikan dalam bentuk tulisan seperti ini. Bagi saya itu lebih berharga dan bisa diterima dibandingkan mengumbar cerita yang nantinya malah menjadi aib sendiri.
Namun, sebagai orang yang suka sekali dengan menulis, saya bersyukur karena bisa menumpahkan semua uneg-uneg, kegelisahan, keresahan saya dalam berbagai macam karya. Ketika saya senang atau merasa buruk, saya menyalurkan semuanya dalam bentuk tulisan.
Dengan menulis, harapan saya tentu saja akan ada orang yang merasakan feel yang sama dan itu memberikan sesuatu yang positif kepada pembaca. Minimal perasaan buruk itu bisa sedikit terobati dan mengembalikan mood seseorang.
Bagi saya, kebahagiaan tidak bisa di ukur oleh orang lain. Kebahagiaan itu hanya bisa di nilai oleh diri sendiri. Dan untuk mencapai kebahagiaan itu bisa jadi di peroleh dari hal yang dekat dengan kita.
Saya bisa sangat bahagia dengan menulis. Atau saya bisa bahagia ketika mensyukuri saya masih diberi kesehatan dan rezeki yang tidak serba kekurangan di tengah situasi pandemi seperti ini.
Memang pada akhirnya, bahagia itu tidak harus dikejar, tapi bisa diciptakan. Dengan cara apa? Dengan cara menyadari hal-hal yang masih kita miliki lalu mensyukurinya dengan penuh kesadaran.
Tidak ada komentar: