Cerpen: Kesempatan yang di Tunda-Tunda
Cerpen by Daffa Ardhan
Masa emas dimana seorang anak seharusnya memanfaatkan masa kecil itu dengan bahagia. Melakukan segala hal yang bisa dilakukan. Umur 8 tahun adalah umur yang hampir semua teman-temanku bisa melakukan banyak hal. Salah satunya mengendarai sepeda.
Aku masih ingat, 5 bulan yang lalu, ayahku membelikan aku sebuah sepeda sebagai hadiah ulang tahunku. Akan tetapi, aku sama sekali belum pernah mencoba mengendarainya. Entah kenapa aku merasa ketakutan dan malu untuk mencobanya. Ibuku sudah mendesakku untuk belajar. juga memarahiku karena merasa sepeda itu hanya jadi pajangan saja di teras rumah.
Setiap pulang sekolah, aku selalu merasa iri melihat teman-teman SD dengan senangnya mengendarai sepeda bahkan sambil membonceng teman-temannya. Aku merasa iri dengan mereka. Terkadang aku sering bersembunyi diantara teman-temanku, menunggu sampai mereka pulang sampai sepeda-sepeda di parkiran sepi.
Atau aku akan cepat-cepat pulang lebih dulu sebelum teman-temanku pulang agar mereka tidak melihatku berjalan kaki. Entah kenapa, aku merasa berjalan kaki adalah aktivitas yang memalukan karena saat ini semua teman-temanku sudah menggunakan sepeda ke sekolah.
Ketika sampai di rumah, aku hanya menatap sepedaku. Ada keinginan untuk belajar, tapi aku malu. Aku takut mereka mentertawakanku. Aku takut mereka meremehkanku. Seharusnya seorang anak berumur 10 tahun sepertiku sudah lihai mengendarai sepeda.
Bahkan teman-temanku sudah pandai mengendarai sepeda dari TK. Aku memang terlambat belajar. Ini kesalahan besarku dari dulu. Kenapa dari dulu aku tidak belajar sepeda? Padahal ketika aku akan naik ke kelas 1 SD, aku sudah pernah belajar. Tapi aku merasa malas dan tidak melanjutkannya.
Waktu itu aku merasa kalau belajar mengendarai sepeda itu tidak penting dan melelahkan. Tapi ternyata pemikiran dangkalku yang super bodoh itu membawakan pada sebuah penyesalan besar. Aku merasa jadi anak kecil tidak bahagia.
Aku adalah seorang anak kecil yang tidak menikmati masa-masa kecilku. Aku merasa jadi anak yang paling tidak berguna sejagat raya dan alam semesta. Jujur, aku merasa gagal jadi anak kecil. Kegagalan itu makin terasa setelah adikku sendiri yang masih berumur 6 tahun memberanikan diri belajar sepeda.
Wajahnya yang masih polos begitu bahagia ketika ia mencoba menginjakan kakinya pada pedal sepeda. Belum sampai 2 minggu ia sudah bisa membawa sepeda kecil roda duanya seraya berkeliling kompleks.
Ia sangat senang, sampai lupa waktu. Ia jadi lebih sering bermain dengan teman-temannya. Ibuku terkadang menyuruhnya membelikan makanan ke warung. Dengan sigap, ia langsung pergi dengan sepedanya. Ketika sampai di rumah, ia diberi imbalan uang jajan.
Melihat adikku yang begitu pintar mengendarai sepeda, tidak lantas membuatku menjadi percaya diri. Mentalku malah semakin down. Ternyata aku telah dikalahkan oleh adikku sendiri. Aku semakin terpuruk dan terpojokkan oleh ibuku yang mulai membanding-bandingkan aku dengan adikku.
Ia bilang, aku seharusnya lebih dulu bisa mengendarai sepeda daripada adikku. Namun kenyataan sebaliknya. Ayahku bahkan sudah pernah memarahiku beberapa kali lalu mengancam sepedaku untuk dijual saja. Aku benar-benar bingung harus berbuat apa.
Dalam satu sisi aku ingin sekali belajar. Tapi dalam sisi lain, aku malu bila ada orang yang melihatku belajar mengendarai sepeda. Aku merasa diumurku yang sekarang bukan waktunya lagi untuk belajar mengendarai sepeda.
**
Suatu hari, seperti biasa aku berjalan kaki saat pulang sekolah. Tiba-tiba dari belakang ada empat orang temanku mengendarai sepeda. Aku langsung bersembunyi di balik pohon. Tapi teryata teman-temanku mengetahuinya. Lalu mereka mengejekku habis-habisan.
“Hei Bobi! Sedang apa kamu dibalik pohon! kaya orang gila saja! Hahaha.”
“Katanya kamu punya sepeda? Mana sepedamu? Kok tidak dipakai?”
“Bobi! Kamu itu punya sepeda cuma disimpen di ters rumah, Buat apa? hah? Kamu kira sepeda itu lukisan apa? Cuma jadi pajangan doang!”
“Sudah.. kalau tidak dipakai, buang saja sepedanya!”
“Masa kalah sama adik kamu!! Huh! Dasar cemennn!!”
Mereka lalu pergi dengan bahagia tanpa merasa dosa telah melaukan tindakan bully habis-habisan pada bocah ingusan sepertiku.
Hal yang paling menyakitkan lainnya ketika wanita yang aku sukai tiba-tiba dibonceng oleh temanku. Dalam hati aku selalu berkata, “Ah, keparat! Anjing! Kampret! Bego! Sialan! Kenapa harus temanku yang memboncengnya! Kenapa tidak aku saja yang membocengnya!” tapi setelah itu, aku sadar, memboceng wanita yang aku sukai adalah hal yang sangat-sangat mustahil.
Tapi dalam khayalanku, terkadang aku membayangkan aku menboceng dia. Wanita yang aku sukai itu. Dia duduk di belakang sepeda sambil merangkul badanku dari belakang. Oh so sweet nya. Tapi sekali lagi, itu hanya khayalan saja sodara-sodara! Khayalan tetap dalam khayalan. Tidak mungki jadi kenyataan.
Hari demi hari, waktu demi waktu. bertahun-tahun sudah setelah aku dikelilingi oleh satu masalah yang menurut orang lain sepele, namun menurutku sulit. Dan tidak terasa aku sudah hampir lulus SD. Aku sudah duduk dibangku kelas 6 SD.
Dan aku masih melakukan kebiasaan yang sama yaitu bersembunyi diantara teman-temanku setelah pulang sekolah. Entah sampai kapan aku akan seperti itu. Mungkin sampai aku lulus SD nanti.
Mungkin saat SMP, aku akan dihadapkan pada permasalahan yang selalu sama. Sampai kapapun, sampai aku berani belajar mengendarai sepeda. Dan semakin umurku bertambah, aku semakin malu untuk belajar.
Dan rasa takut dan malu itu semakin membesar sampai sekarang. Aku hampir menyerah dengan segala rasa takut dan maluku untuk belajar sepeda. Hidupku seakan hanya bergantung pada sepeda. Tak ada hal yang paling memalukan selain karena aku tidak bisa mengendarai sepeda.
Pikiran-pikiran buruk itu terus mengehantuiku. Ejekan teman-temanku terus mengiang-ngiang di kepalaku. Bahkan sampai terbawa mimpi. Kedua orang tua semakin menganggapku anak yang tidak punya kemauan dan pemalas.
Dengan tekanan yang terus berdatangan dari banyak orang, aku sempat kepikiran untuk segera mengakhiri hidupku saja. Bila aku mati, mungkin tak akan ada orang yang mentertawakan dan mengejekku lagi. Tak ada sindiran dan kemarahan dari orang tuaku. Tak akan ada lagi wanita yang membuatku cemburu. Namun, aku berpikir itu adalah keputusan yang konyol.
Bila aku mati, aku akan menulis surat wasiat yang isinya adalah alasanku bunuh diri karena aku tidak bisa mengendarai sepeda. Mungkin, orang-orang yang membacanya tak akan sedih, tak akan menangis. Malah akan tertawa membaca surat wasiatku. Keputusan bunuh diri yang super konyol bagi orang-orang tentunya. Bahkan, mungkin tuhan pun pasti mentertawakanku.
Aku bingung. Sepertinya, aku harus pergi saja dari sini. Bila keputusan untuk meninggalkan kehidupan duniawi adalah keputusan yang konyol. Maka biarkan aku meninggalkan rumah saja. Meninggalkan kehidupan sekolahku tercinta. Meninggalkan teman-temanku yang sugguh kubenci. Meninggalkan semua kenangan yang ada.
Aku akan pergi tanpa sedikitpun meninggalkan surat wasiat. Mungkin aku akan pergi tanpa kabar, entah pergi kemana. Mungkin pergi ke rumah saudaraku. Bila aku sanggup, aku akan pergi meninggalkan kehidupan lamaku. Hidup mandiri, tanpa bantuan orang-orang yang kukenal.
Selamat tinggal ibu dan ayah. Salam dari anakmu yang tidak berguna ini.
Sebuah memori klasik, 5 maret 2010
Cerpen: Kesempatan yang di Tunda-Tunda
Reviewed by DAFFA ARDHAN
on
Rabu, Desember 16, 2015
Rating: 5