Sajak | Kosong
Reviewed by DAFFA ARDHAN
on
Minggu, November 11, 2018
Rating: 5
Doni, Akang Tampan yang Diberi Kelebihan
Kemarin, Hayati bercerita padaku tentang temannya yang punya kelebihan. Aku tanya, "Emang kelebihannya apa? Bisa bikin teman yang suka ngutang tobat nggak ?"
"Ih, aku serius tau ferguso!" Ia menatapku sinis. Sepertinya ia pengen dimanja, lagi pengen dimanja. Pengen berduaan sama dirimu iqbal. Oke, stop sampai situ.
Lalu ia munyubit tangan kananku dengan keras. "Hei kamu jangan becanda terus nanti aku bilangin ke temenku biar kamu digangguin kunti."
"Ah masa? Jadi temenmu itu kelebihannya bisa manggil kunti, gitu?"
"Ih, bukan gitu ketek kecoa! Maksudnya dia punya indra 6!"katanya dengan sadis.
Singkat cerita, Hayati bercerita panjang lebar tentang temannya bernama Doni yang punya indra 6 itu. Katanya selain bisa melihat makhluk tak kasat mata, Doni juga bisa berkomunikasi, bahkan mengusir jika makhkuk halus menganggu.
Sebagai orang yang suka su'udzon, aku mencoba mencari tahu keberadaan Doni. Kira-kira apa benar temannya Hayati itu bisa melihat hantu. Aku pun menemuinya.
"Hei kang Doni." Sapaku dengan ramah. Aku bertemu dengannya di alun-alun sore hari. sambil ngopi, kami duduk-duduk santai, mengobrol seperti sepasang pria kasmaran.
"Kang, aku punya kakak,"
"Terus, masbuloh!"
"Ajayyy, akang sehat?"
"Hehe maaf saya bercanda mas. Maklum, saya itu orangnya humoris."
"Oh," aku sedikit ilfeel dengannya. "Saking humorisnya saya hampir ikut stand up comedy,"
"Menang kang?"
"Nggak."
"Loh? Kenapa?"
Ia terdiam sejenak. Lalu meneguk segelas kopinya, padahal sudah habis. "Soalnya saya lihat tempat audisinya berhantu."
Aku sedikit kebingungan dengan ucapanya. "Maksudnya kang?"
"Ada banyak aura negatif disana. Itu bakalan menganggu performa akang nanti di panggumg stand up."
"Oh begitu kang. Nanti kalau sampai akang lolos audisi, bukannya lucu malah serem ya kang?"
"Assyiaappp, Mantul! anda benar!"katanya dengan semangat. "Ngomong-ngomong, kamu ajak saya kesini ada perlu apa?"
"Mau jujur aja kang," ia menatapku aneh. "Saya mau nembak akang."
Pipi kang Doni tiba tiba membiru. Ia kembali meminum kopinya yang sudah habis.
"Biasa aja kang. Saya juga cuma bercanda hahahaha."
"Astafirullah. Hampir saja saya khilaf sama istri di rumah hah hah hah."
Sambil tertawa terbahak-bahak. Aku meminum kopiku. Untungnya kopiku belum habis. "Saya boleh minta kopimu enggak?"katanya sambil meminum lagi kopinya yang sudah habis.
"Sebentar kang.." aku segera mengabiskan kopiku dengan cepat. Belum sampai kang Doni menyela, aku langsung berbicara padanya.
"Gini kang, saya kan punya kakak, terus kakak saya itu sering mimpi basah."
"Lah wajar kalau begitu. "
"Tapi celananya jadi basah kuyup kayak orang baru mandi."
"Oh kalau itu namanya bukan mimpi basah tapi kencing di celana,"
"Nah itu bener kang. Tapi bukan itu yang mau saya tanyakan."
"Terus mau tanya apa?"
Aku segera meminum kopiku lagi, padahal sudah habis. Aku baru sadar ternyata aku sama bodohnya seperti kang Doni.
"Gini kang, kakak saya itu sering kesurupan, sering di gangguin juga."
"Gangguinnya kayak apa?"
"Semacam ketindihan gitu, kang. Kadang yang lebih parah lagi, makhluk itu sering ngegangguin kaka saya kalau lagi sendirian di rumah."
"Dia suka menampakkan dirinya kan?"
"Lah, kok akang tahu?"
"Saya bisa tahu dari aura kakakmu,"
"Wow. "
"Terus apa lagi yang akang tahu dari kakak saya?"
"Dia sepertinya digangguin jin. Kamu harus cepet-cepet selametin kakakmu sebelum terlambat."
"Emang kenapa kang?"
"Nanti kalau jin itu sudah menyatu dengan batin kakakmu, umurnya bakalan pendek."
"Terus saya harus gimana kang?"
Kang Doni mengeluarkan sebuah jimat berwarna hitam. "Suruh kakakmu simpan jimat ini di bawah bantalnya. Terus besoknya buang jimat itu ke hutan."
"Kenapa harus dibuang ke hutan?"
"Jadi jin yang mengikuti kakakmu itu akan masuk ke jimat ini dan tidak bisa keluar lagi. Setelah itu Kakakmu akan aman dari gangguan jin ."
"Makasih kang. Kira-kira berapa harganya?"
"Ya seiklasnya saja lah kalau sama saya mah,"
Aku keluarkan amlop dari saku. "Nih mas.."
"Saya pulang dulu deh mas, ga sabar pengen cepet kasih jimat ini ke kakak saya,"
"Iya silahkan kalah begitu,"
Akhirnya aku pulang ke rumah dengan riang gembira, tralala trilili hiya hiya hiya. Saya segera mengirim foto jimat itu ke Hayati. Saya bilang sama dia kalau kang Doni ini penipu. Ya bagaimana nggak nipu coba, lah aku ini kan anak tunggal. Aku ga punya kakak kandung maupun kakak tiri.
Amplop yang aku kasih ke kang Doni juga isinya bukan uang tapi struk belajaanku dari indomaret.
#KisahHayati
Doni, Akang Tampan yang Diberi Kelebihan
Reviewed by DAFFA ARDHAN
on
Rabu, November 07, 2018
Rating: 5
#3 Dibalik Nulis: Menulis Tentang Politik
Sudah cukup sering saya menulis tentang politik. Lebih tepatnya mengomentari prilaku politisi di dunia politik praktis. Saya memang tertarik dengan topik-topik politik yang mewarnai pemberitaan media. Banyak intrik yang bermain disana. Itu yang membuat politik praktis menjadi sangat menarik untuk dibahas.
Meski semestinya berita politik diisi dengan ragam regulasi dan kebijakan, tetapi kenyataannya politik saat ini lebih banyak diisi oleh para aktor politik yang kadang bikin salut, ingin memuji tapi tidak sedikit yang bikin geram, dan bikin saraf ingin meledak. Kata ‘meledak’ sebenarnya gambaran hyperbola yang sangat cocok ditempelkan pada netizen yang sering ikut campur dalam politik praktis. Lebih tepatnya saat ini ‘netizen politik’ terbagi menjadi 2 kubu: cebong dan kampret.
Saya sangat termotivasi membuat tulisan politik karena banyak keresahan yang ingin saya suarakan. Sekalipun ada orang yang tidak setuju dengan tulisan-tulisan saya tetapi menyuarakan apa yang saya ketahui dan saya yakini itu benar merupakan kepuasan pribadi. Saya meyakini bahwa diluar sana, pasti ada orang yang punya keyakinan yang sama dengan saya.
Saya berusaha untuk tetap berada di tengah dalam mengungkapnya preferensi politik saya. Dalam artian, saya tidak mau berdiri pada sikap fanatik dan membela habis-habisan tokoh politik yang saya suka. Sebab politik praktis itu sangat dimanis. Terutama jika membahas soal yang namanya kepentingan.
Saya meyakini bahwa ketika seseorang memutuskan terjun ke dalam politik praktis, mau tidak mau, suka tidak suka mereka harus membuang sedikit banyak “idealisme”. Bahkan ketika kita berkaca pada kelompok yang maha kritis seperti aktivis mahasiswa, Sebenarnya mereka tidak merasakan apa yang politisi rasakan. Akan beda ceritanya, jika aktivis mahasiswa sudah terjun ke politik praktis.
Itu terbukti ketika di media ada beberapa mantan aktivis yang terjerat korupsi.
Artinya apa yang mereka teriakan dulu dalam demo-demo di jalanan justru jadi blunder dan seperti menjilat ludah sendiri. Mungkin, ada sebagian yang tetap idealis dengan catatan ‘syarat dan ketentuan berlaku’, namun ada pula yang menanggalkan habis-habisan idealisme.
Dalam berkomentar soal politik, saya berusaha memahami aktor politik secara personal seraya membayangkan jika saya berada di posisi mereka. Saya pernah melihat salah satu aktivis HAM yang mengkritik soal sikap netral Jokowi pada kasus Meiliana yang terkena kasus penghinaan toa mesjid.
sang aktivis HAM mengatakan sebagai presiden yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia, Jokowi seharusnya tidak boleh ‘balik badan’ dalam menanggapi isu-isu yang terkait erat dengan HAM.
Menurutnya, Jokowi harus punya sikap seminal-minimalnya mengatakan setuju atau tidak setuju.
Tetapi saya merasakan betul posisi Jokowi sebagai seorang politisi bahwa tidak semudah itu dia mengatakan ya atau tidak dan setuju atau tidak setuju. Pertimbangan politisi (apalagi jelas pilpres 2019) bukan sekedar menunjukan sikap tetapi ada opsi yang sangat perlu dipertimbangkan. Jokowi tahu kalau kasus Meiliana merupakan kasus yang sangat sensitif. Terlebih dalam kasus ini mudah sekali bagi kita membedakan mana yang pro dan mana yang kontra.
Mereka yang kontra terhadap protes Meiliana terhadap toa mesjid adalah mereka yang selama ini berada di kubu oposisi. PKS dalam hal ini jadi wajah utama dalam menyuarakan ‘islam sedang dizolimi’ sehingga pihak mereka akan mengungkapkan suara yang sama dalam menanggapi kasus Meiliana. Mereka adalah pihak yang paling senang melihat Meiliana di penjara karena dianggap jadi aktor antagonis yang memusuhi islam.
Ketika seorans aktivis HAM tersebut menuntut Jokowi membuat sikap atau menyatakan pendapatnya tentang kasus Meiliana maka oposisi akan menggoreng omongan Jokowi itu serenyah-renyahnya. Dan sudah tentu Jokowi akan di imprementasikan kembali sebagai anti islam karena dianggap membela sang ‘penista’ toa mesjid. Oleh sebab itu Sikap netral Presiden menurut saya menjadi hal yang baik.
Dalam kasus diatas merupakan salah satu contoh bagaimana saya menulis salah aktor-aktor politik di lapangan. Setiap menulis soal politik, saya tidak berusaha memahaminya dari sudut pandang ideal politik. Tapi enggunakan kacamata politisi dengan segala pertimbangan politiknya.
Setiap orang mungkin punya gaya yang berbeda dalam menulis politik. Meski begitu, saya yakin esensi yang disampaikan punya tujuan yang sama: mengomentari tingkah-laku para pemeran drama politik. Ini sama seperti kita mengomentari publik figur atau artis di televisi. Perbedaannya kalau artis, masalahnya selalu berkutat di kehidupan pribadi, sedangkan para politisi kalau sudah tersangkut masalah, yang kena getahnya rakyat indonesia sendiri. Apalagi masalahnya tidak jauh-jauh dari korupsi dan memenuhi syahwat istri.
#3 Dibalik Nulis: Menulis Tentang Politik
Reviewed by DAFFA ARDHAN
on
Kamis, November 01, 2018
Rating: 5
LGBT, Gempa, dan Fakta Sejarah yang Perlu Diketahui
Banyak orang percaya LGBT sebagai penyebab gempa, padahal ilmu sains sudah mengungkap fakta yang lebih masuk logika.
Gempa di beberapa daerah di Indonesia baru-baru ini bukan cuma mendatangkan tangis yang mendalam bagi semua orang, tetapi sudah menjangkiti orang-orang untuk saling menduga sebab-sebab datangnya sebuah gempa. Dunia sains dengan segala kemajuannya telah menjelaskan secara rinci penyebab gempa ini terjadi, meski belum ada yang mampu memprediksi kapan dan di mana bencana alam ini bisa muncul.
Beberapa orang melakukan pendekatan agama, menyusuri tafsir-tafsir ulama untuk mengetahui kenapa gempa ini bisa terjadi. Ada yang menafsirkan gempa disebabkan oleh perilaku manusia yang zalim pada dirinya sendiri. Kemaksiatan dan penyimpangan terhadap perintah Tuhan membuat sang pencipta marah.
Saya sering mendapat postingan tentang azab-azab Tuhan di media sosial. Tapi bukan azab pocong kesenggol angkot atau azab mayat masuk penggilingan semen, melainkan azab tentang perilaku penyimpangan seksual yang lebih dikenal dengan sebutan LGBT. Katanya, gempa di Palu dan Donggala disebabkan oleh masyarakat yang sering berbuat maksiat. Tentu dalam hal ini kesalahan dituduhkan lebih keras kepada para pelaku LGBT.
Pada sebuah diskusi kelas, saya sering menjumpai teman sesama mahasiswa yang menganggap bahwa LGBT merupakan produk globalisasi. Pelegalan terhadap pencinta sesama jenis ini disebut datang dari Barat dan diadaptasi oleh bangsa Timur, sehingga ada anggapan bahwa LGBT bukan asli ‘budaya’ Indonesia. Bahkan terrbongkarnya grup Facebook LGBT di Garut dan Tasikmalaya beberapa waktu lalu dianggap sebagai tanda-tanda akhir zaman.
Dari semua anggapan itu, saya jelas membantah. Sebelum mencocokkan keterkaitan LGBT dengan gempa, kita harusnya tahu dulu fakta sejarah bagaimana penyimpangan seksual ini bisa terjadi. Kita perlu tahu secara runut untuk mengetahui LGBT sebagai bagian dari rangkaian sejarah orientasi seksual manusia. Karena LGBT bukanlah fenomena baru, melainkan fakta sejarah yang tidak disadari banyak orang.
Sebenarnya, masyarakat modern saat ini telah lama familiar dengan pelaku penyimpangan seksual jauh sebelum istilah LGBT ada. Dalam Islam, sejarah kaum LGBT pertama dikenal oleh kisah kaum Nabi Luth. Kemudian dalam salah satu riwayat disebutkan bahwa Allah mengazab kaumnya sebab tidak ada pertobatan dari mereka. Namun, pelaku penyimpangan tidak berhenti sampai di situ saja.
Pada riwayat hadist Az-Zuhri, dari Urwah, dari Aisyah RA menceritakan laki-laki gemulai yang hidup di zaman Rasulullah. Kemudian beliau mengusirnya. Apa pada saat itu langsung terjadi gempa? Tidak juga.
Di masa kekhilafahan Bani Umayah, banyak khalifah yang menjadi pelaku LGBT. Salah satunya Khalifah al-Walid bin Yazid bin Abdul Malik yang mengidap homoseksual. Kemudian penyimpangan seksual terulang kembali di masa Khilafah Abbasiyah. Bahkan pada masa ini LGBT di kalangan khalifah sudah menjadi rahasia umum. Apa saat itu langsung terjadi gempa? Tidak ada riwayat sejarah yang menuliskan terjadinya gempa setelah banyak khalifah melakukan homoseksual.
Di Indonesia, fenomena LGBT sudah ada sejak masa kolonial. Praktik homoseksual dilakukan oleh beberapa pegawai pemerintah Belanda dan masyarakat pribumi.
Dalam buku karya Amen Budiman berjudul Gay Pilihan Jalan Hidupku: Autobiografi Seorang Gay Priyayi Jawa Awal Abad XX yang menceritakan otobiografi Soetjipto tentang cinta pertamanya pada seorang lelaki yang berprofesi sebagai dokter. Apa pada masa kolonial itu terjadi gempa untuk menunjukan bahwa Tuhan marah? Sayangnya tidak pernah terjadi.
Di beberapa suku di Indonesia, kisah LGBT ikut mewarnai sejarah. Misalnya di Jawa, kesenian reog Ponorogo memperlihatkan peran Warok yang sering melakukan hubungan homoseksual dengan Gemblak, sebutan bagi lelaki berparas tampan.
Di suku Bugis, bahkan jenis kelamin atau gender tidak hanya dibedakan antara perempuan dan laki-laki, namun dibagi menjadi 5 gender, yaitu oroane (pria), makunrai (wanita), calalai (wanita berpenampilan layaknya pria), calabai (pria bernampilan layaknya wanita), dan bissu (sosok yang tidak jelas jenis kelaminnya).
Di lingkungan sosial saat ini, orang-orang menyimpang secara seksual tanpa disadari sudah dianggap fenomena biasa dan terkadang dibincangkan sebagai bahan guyonan lelaki normal. Di masa sekolah sampai kini kuliah, saya selalu punya satu atau dua teman lelaki di kampus yang agak melambai bahkan ada yang secara terang-terangan mengakui dirinya tidak tertarik pada lawan jenis.
Namun, teman-teman saya sering melihatnya sebagai objek tertawaan, namun setelah itu situasi berjalan normal. Tidak ada bully-bullyan atau pelaku dilaporkan kepada pemuka agama agar di rukiyah. Mereka tetap bisa berbaur dengan semua orang meski jarang diajak melakukan aktivitas yang bersifat maskulin seperti main bola.
baca juga: Provokasi 'Ndeso' dan Boikot LGBTPelaku penyimpangan seksual mulai dianggap tabu ketika sudah masuk pada ruang publik. Mereka dianggap hina dan tidak pantas hidup. Kemudian banyak orang mengaitkannya sebagai penyebab gempa dan tanda kiamat sudah dekat.
Padahal, seperti yang saya jelaskan panjang lebar sebelumnya, LGBT ada pada setiap zaman, mereka hadir di zaman ketika Rasullullah masih hidup, mereka berkembang biak selama berabad-abad dan masih hidup di abad 21 sampai sekarang. LGBT selalu punya cerita tersendiri di setiap negara, di belahan dunia mana pun.
Mereka yang dianggap tidak normal secara seksual telah menjadi fenomena sosial yang biasa. Mereka menjadi bagian kehidupan dan mengisi pertemanan semua orang. Mereka akan selalu ada setiap zaman meski selalu ada ‘pembasmian’ lewat jalur-jalur hukum maupun sanksi sosial masyarakat.
Apa saya pro-LGBT? Tidak. Meski saya mengutuk keras tindak LGBT, tapi saya tidak pernah mengaitkan LGBT sebagai penyebab gempa yang justru lebih banyak membawa kesedihan dan hilangnya ribuan nyawa tak bersalah. Saya lebih suka mengakui pelaku LGBT sebagai realitas sosial yang nyata, terlepas dari baik dan buruknya penilaian di masyarakat.
ilustrasi: MSN.com
LGBT, Gempa, dan Fakta Sejarah yang Perlu Diketahui
Reviewed by DAFFA ARDHAN
on
Rabu, Oktober 24, 2018
Rating: 5
#2 Dibalik Nulis: Hobi Nulis Tapi Males Ikut Lomba
Sudah beberapa tahun ini saya menulis, tapi bisa dihitung dengan jari berapa kali saya ikut lomba atau berartisipasi pada event-event menulis. Kenapa? Saya punya alasan tersendiri.
Dulu, semangat saya ikut lomba menulis begitu mengebu-gebu. Tapi ada perasaan saya yang tak bisa dibohongi. Saya merasa menulis dengan mengikuti lomba begitu menyiksa. Saya jadi tidak menikmati kegiatan menulis karena tulisan yang dibuat tidak sesuai dengan apa yang mau saya tulis. Dalam event menulis, saya harus mengikuti tema tertentu yang kebanyakan tidak saya kuasai.
Saya harus memikirkan tema tulisan sesuai yang sudah disepakati oleh penyelenggara lomba. Padahal selama ini saya menulis bukan berdasarkan “pesanan” orang lain, tapi saya menulis sesuatu yang ingin saya tulis saja. Saya terbiasa menulis tanpa deadline dan hanya menulis ketika ada sesuatu yang ingin saya sampaikan dalam pikiran saya.
Kegiatan menulis yang saya lakukan lebih ke menyampaikan uneg-uneg atau kegelisahan saja. Kalau saya melihat suatu yang membuat saya ‘geregetan’ maka saya akan sampaikan lewat tulisan. Sama seperti kalian yang hobi curhat. Rasanya kalau lagi banyak masalah, pasti bawaannya ingin curhat sama orang. Kurang lebih itu yang saya rasakan. Jika ada suatu kegelisahan atau gagasan yang muncul dalam pikiran saya, bawaannya jari-jari tangan saya ingin cepat-cepat ngetik di depan laptop.
Tapi saya sadar bahwa tujuan jangka panjang saya menulis bukan cuma mentok sebagai hobi. Tapi lebih sekedar hobi. Saya ingin mengembangkan kemampuan menulis saya pada bidang pekerjaan tertentu. Saya ingin menulis buku, saya ingin jadi content writer, penulis skenario atau jurnalis. Saya ingin bergelut di bidang profesi yang berhubungan dengan dunia tulis-menulis. Maka tidak cukup hari ini saya sekedar menulis ‘semau-maunya’ saja tanpa target dan pencapaian yang jelas.
Salah satu bukti pencapaian dari seorang penulis adalah karya yang diakui, di apresiasi. Dalam cara saya mengikuti lomba dan memenangkannya,itu bisa jadi modal saya untuk memenuhi portofolio menulis saya di masa yang akan datang. Dan mungkin bisa jadi pertimbangan bagus jika saya memasukannya dalam sebuah CV yang akan berguna ketika suatu saat saya melamar kerja di bidang-bidang yang berhubungan dengan menulis.
Apa saya sudah melakukannya? Untuk saat ini belum. Tapi saya sedang berusaha melakukannya meski dengan perasan berat hati. Untuk memenuhi portofolio, sebenarnya ada cara lain. Seperti saya mengirim tulisan pada beberapa media massa. Saya sudah sering melakukannya walaupun hasilnya tidak terlalu baik. Saat ini saya sedang keluar dari zona nyaman saya dalam menulis. Entah apakah saya bisa melakukannya atau tidak.
#2 Dibalik Nulis: Hobi Nulis Tapi Males Ikut Lomba
Reviewed by DAFFA ARDHAN
on
Rabu, Oktober 17, 2018
Rating: 5
Prabowo, Sudah Jatuh Tertimpa Plastik Pula
Kalau saya jadi Prabowo, saya pasti akan malu semalu-malunya. Bagaimana tidak malu, dia dibohongi oleh orang dalamnya sendiri. Ini. Lawan politiknya seolah tidak perlu bersusah payah menjatuhkan elektabilitas Prabowo karena dia telah dijatuhkan oleh orang terdekatnya sendiri.
Ratna Sarumpaet mungkin telah membuat sebuah kebohongan paling epik di penghujung tahun 2018 yang akan berakhir 2 bulan lagi ini. Kebohongan Ratna soal dianiaya oleh orang tidak dikenal sampai wajahnya bonyok segede bapau telah membuat lawan Jokowi itu hampir kehilangan urat malunya.
Hari itu, Prabowo seakan telah melakukan blunder dari hasil konperensi persnya untuk membela Ratna. Meski sudah mengakui kecerobohannya, Prabowo sebagai mantan jendral tetap tidak mau mengaku salah.
Padahal sebagai calon presiden abadi Prabowo seharusnya bisa mengakui kesalahannya. Baik kesalahan yang dibuat secara sengaja maupun tidak disengaja oleh karena sikap 'grasa-grusu'.
Tapi kenyataaanya, bukannya meminta maaf, pihak oposisi yang sudah ber-su'udzon pada pemerintah justru malah bersikap sebagai korban.
Minta maaf adalah kalimat paling berat diucapkan oleh kubu oposisi. Sebab motif utama prabowo dan timses sesungguhnya adalah strategi mencari panggung.
Ketika ada seseorang dipihaknya yang merasa didzolimi, maka Prabowo dkk akan memanfaatkan momen ini untuk menaikan elektabilitasnya sekaligus menjatuhkan lawan politiknya.
Strategi ini bukan saja dilakukan Prabowo. Tapi dilakukan juga oleh (mungkin) semua politisi di negeri ini. Tak terkecuali dengan Jokowi. Saya sadar bahwa kasus blunder parah yang menimpang Prabowo hari ini adalah blunder yang pernah dirasakan oleh Jokowi. Jika kalian masih ingat. Tahun lalu kita mengenal seorang wanita 19 tahun yang tulisannya viral berjudul "Warisan".
Ya, namanya Afi. Karena tulisannya itu, dia diundang di berbagai acara termasuk di undang oleh Jokowi ke Istana Negara. Jokowi bangga dengan apa yang ditulis Afi meski akhirnya bapak Presiden tertipu karena faktanya tulisan "warisan" ternyata bukan tulisannya sendiri.
Kala itu Afi dengan percaya diri bertemu presiden. Selain ingin memberi apresiasi, secara itung-itungan politik, bertemunya Afi dengan Jokowi juga bisa menaikan citra yang positif bagi sang Presiden. Bahasa kasarnya ya sama-sma cari panggung. Bedanya, kalau Jokowi elektabilitas jadi naik sedangkan prabowo jadi blunder dan malah menurunkan 'nilai jual'nya sebagai calon presiden.
Tahun lalu itu saya pernah menulis soal Afi yang bagaimana dia bisa membodohi orang-orang penting di indonesia.Dan saya masih ingat bagaimana penggiat sosial media seperti Denny Siregar tutup mulut ketika tulisan-tulisan pujiannya untuk Afi ternyata hoax dari Afinya sendiri.
Dalam tulisan itu saya sebutkan bahwa hoax atau kebohongan sebuah berita sesungguhnya diletakan bukan oleh media, tapi oleh narasumbernya sendiri.
Menurut saya, di era informasi yang pesat ini sulit bagi media-media besar dan mainstream untuk membuat hoax secara mandiri karena itu sama saja menghancurkan citra perusahaan. Tapi kalau ada channel tv seperti TVOne yang terlalu sering umbar hoax politik ya itu sih pengecualian ya.
Tapi bagi saya yang paling memungkinkan itu hoax bisa muncul dari narasumber-narasumber yang ucapannya tidak pernah bisa dipercaya. Hari ini mengatakan A, besoknya berkata B, lusanya berkata C. Anehnya, media tetap saja menjadikan satu orang ini sebagai narasumber pilihan utama.
Alasannya bukan karena si narasumber dianggap kompeten, tapi karena media tahu bahwa orang-orang yang labil seperti itu bisa membuat orang-orang penasaran. Otomatis medianya bisa laku keras dibaca banyak orang. Disitulah komersialisai media memainkan peran.
Ketika media sudah menelurkan sebuah berita ajaib, orang-orang termasuk pak Jokowi dan Om Prabowo pasti percaya saja. Apalagi jika berkaca pada kasus ratna sarumpet, prabowo mendapat informasi A1 langsung dari sumber utama yakni ratna sarumpaet yang validitas kebohongannya sudah tidak diragukan lagi.
Pada akhirnya di awal masa-masa kampanye ini, Prabowo sudah ketiban sial. Sudah jatuh tertimpa plastik pula. apalagi plastiknya pakai plastik tupperware. Wah, sudah dipastikan emak-emak bakalan ngamuk sejadi-jadinya.
foto: tribunnews.com
Prabowo, Sudah Jatuh Tertimpa Plastik Pula
Reviewed by DAFFA ARDHAN
on
Jumat, Oktober 05, 2018
Rating: 5
#1 Dibalik Nulis: Kenapa Saya Menulis?
Beberapa penulis kesohor yang saya tahu tentang karya-karyanya jarang sekali membicarakan tentang alasan-alasan utama mereka menulis. Saya tahu bahwa menulis itu sendiri adalah alasan yang tidak perlu dijelaskan panjang lebar. Kegiatan menulis sebenarnya sudah cukup menjelaskan bahwa menulis adalah kegiatan menuangkan gagasan yang nantinya akan dibaca oleh orang-orang.
Secara sederhana, puncak dari kegiatan menulis selalu dilandaskan pada alasan ingin berbagi, entah berbagi pengetahuan, pendapat, ide dan lain sebagainya. Saat SMP saya masih ingat ketika saya sangat keranjingan dengan berbagai kata motivasi. Dari mulai artikel sampai konten video dari Mario Teguh saya telan semuanya dalam pikiran saya.
Lalu, apa yang terjadi selanjutnya? Apa setelah membaca motivasi tersebut saya jadi sosok orang yang punya banyak mimpi? Dalam jangka pendek mungkin iya. Motivasi mendorong seseorang untuk bermimpi. Tapi kata-kata motivasi itu seperti obat penghilang alergi. Efeknya tak sampai 2-3 hari, setelah itu hilang dan pergi. Kata-kata motivasi tidak merubah saya jadi punya prestasi.
Tapi ada satu kata motivasi yang berbekas dalam ingatan saya yang saat ini yaitu soal passion. Saya tak pernah berpikir saya punya passion. Kala itu saya tidak percaya bahwa setiap orang itu harus punya passion dalam hidupnya. Yang saya sadari ketika itu saya punya hobi dan katanya hobi bisa berubah menjadi passion seseorang.
Dan menulis untuk sekarang ini adalah kegiatan yang sedang menjadi ‘passion’ saya. Kenapa? Karena dari dulu sampai sekarang tidak ada aktivitas memyenangkan yang bisa saya banggakan selain menulis. Dari kecil hingga sekarang saya punya banyak hobi. Saya lakukan hobi itu hampir setiap hari. Tapi tak ada yang bertahan sampai bertahun-tahun seperti halnya menulis.
Di masa sekolah, saya tidak pernah mendapat perhargaan apapun. Saya tidak pernah mengikuti berbagai macam perlombaan kecuali lomba makan kerupuk. Itupun cuma masuk juara harapan. Harapannya menang, nyatanya kalah. Masih mending sih, daripada diberi harapan palsu.
Saya belum pernah merasakan bagaimana rasanya mendapat sebuah piala atau piagam penghargaan karena pada masa itu, saya tidak punya bakat yang bisa dikembangkan. Masa sekolah saya di isi dengan kegiatan pergi sekolah, mendengarkan guru mengajar, pulang ke rumah, mengejarkan PR, lalu balik lagi ke sekolah. Begitu-gitu saja.
Suatu hari saya bertemu dengan dunia menulis. Sampai suatu ketika, hari demi hari, bulan demi bulan, saya akhirnya menemukan sebuah kegiatan yang setidaknya membuat saya bangga yakni menulis.
Di tahun pertama saya belajar menulis saya mendapat banyak pujian dari beberapa teman saya di extrakulikuler jurnalis. Beberapa tulisan saya dalam bentuk naskah drama juga digunakan untuk pentas drama di sekolah. Beberapa artikel saya pernah dimuat koran dan satu cerpen saya pernah diterbitkan dalam project kumpulan cerpen oleh salah satu penerbit indie.
Itu suatu kebanggan yang besar bagi saya ketika kemampuan menulis saya masih seumur jagung. Dari situ saya merasa bahwa kegiatan menulis bisa mengubah hidup saya. Setidak-tidaknya bisa merubah diri saya yang tidak punya prestasi apapun di masa sekolah menjadi punya sesuatu yang dibanggakan bagi diri saya pribadi.
Selain itu, dari dulu hingga sekarang saya punya kelemahan dalam berbicara. Saya termasuk orang yang hemat bicara, gampang demam panggung, dan sering bebicara terbata-bata ketika harus berbicara di depan banyak orang. Dan menulis itu semacam jadi ‘pelarian’ saya ketika gagasan-gagasan saya tidak pernah terakomodir secara lisan.
Ketika saya lemah dalam berbicara, setidaknya saya bisa berbicara lewat tulisan. Maka, di tahun-tahun selanjutnya saya mulai menjalani hobi menulis ini sampai kuliah. Saya memutuskan membuat blog, menulis di beberapa platform media, dan mulai belajar meraup pundi-pundi rupiah lewat tulisan walaupun nominalnya tak seberapa.
Saya kembangkan kemapuan menulis saya yang masih pas-pasan ini ke beberapa situs menulis. Sampai saat ini memang saya belum mendapat sesuatu yang besar dari menulis. Tapi saya percaya kegiatan menulis setidaknya bisa memberi kesenangan tersendiri bagi saya sekalipun saya harus meluangkan waktu berjam-jam hanya untuk menulis satu tulisan pendek saja.
#1 Dibalik Nulis: Kenapa Saya Menulis?
Reviewed by DAFFA ARDHAN
on
Jumat, September 28, 2018
Rating: 5
Mahasiswa Demo Lagi, Lagi dan Lagi
Mahasiswa telah menjadi bagian dari civil society yang dianggap menjadi satu-satunya lawan yang seimbang untuk melawan penguasa. Seimbang dalam arti mahasiswa dianggap tidak punya afiliasi dengan kelompok kepentingan manapun sehingga pergerakannya bisa dilakukan lebih luwes. Terutama terkait dengan dunia politik praktis yang syarat akan kepentingan para kaum elit.
Mahasiswa memang telah lama menjadi senjata untuk melawan rezim. Ini terbukti pada tragedi 1998 yang secara tidak langsung telah menggulingkan kekuasaan orde baru. Tapi anehnya sampai saat ini sikap heroik mahasiswa tidak pernah menjadi gerakan-gerakan baru yang revolusioner. Sebab mahasiswa kini hanya mengulang metode lama dan tidak terpikir untuk membuat sesuatu yang segar sekalipun zaman sudah banyak berubah.
Seperti gerakan demonstrasi yang sudah identik dengan gaya mahasiswa dengan turun kejalan sambil membawa spanduk tidak pernah berubah sejak 20 tahun terakhir. Padahal perlu ada penyegaran dalam pergerakan mahasiswa yang selaras dengan kemajuan zaman. Aksi demontrasi yang selama ini dilakukan sebagian besar tidak membawa perubahan yang signifikan selain untuk ajang eksistensi. Demo bisa jadi dilakukan secara berkala dan dilakukan pada hari-hari besar tertentu, tetapi sayangnya output yang dihasilkan sangat rendah.
Coba sebutkan seberapa persen tingkat keberhasilan mahasiswa dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah saat ini? Sangat kecil. Realitas sosial politiknya tidak sesuai harapan. Kenyataannya regulasi yang selama ini di proses oleh lembaga legislatif dan eksekutif kebanyakan tidak berdasar pada suara mahasiswa namun lebih dipengaruhi internal pemerintahan. Mahasiswa selama ini memang tidak dilibatkan dalam proses politik di pemerintahan meski suaranya sangat vokal.
Kesalahan bisa jadi datang dari pemerintah, namun tidak menutup kemungkinan jika mahasiswa juga perlu mengevalusi gerakan atau aks yang selama ini sering dijalankan. Apakah aksi tersebut akan terus menerus dilakukan, berulang-ulang tanpa ada kepastian? Ataukah mahasiswa harus memutar otak, mencari langkah alternatif agar suara mahasiswa bisa kembali di perhitungkan? Ini merupakan evaluasi bersama.
Hal yang perlu di evaluasi bagi saya adalah tentang adanya perubahan zaman dimana setiap mahasiswa perlu sadar tentang adanya lintas generasi yang melesat jauh antara kini dan dulu. Ini menyangkut segala aspek, misalnya soal penggunaan teknologi informasi yang telah berkembang pesat, muncul digitalitasi dengan hadirnya internet beserta media online dan media sosial.
Jika mahasiswa di tahun 1998 sudah mengenal internet dan smartphone pastilah mereka juga akan memanfaatkannya sebagai media gerakan prioritas. Karena mereka pun akan mengerti bahwa menuntut suatu perubahan tidak melulu harus turun kejalan sambil bakar ban.
Sekarang ketika teknologi informasi sudah ada dalam genggaman, apa mahasiswa perlu menjadikan mahasiswa tempo dulu sebagai role model dengan segala keterbatasannya? Tentu tidak. Sebab dengan adanya teknologi informasi yang semakin maju, mahasiswa saat ini punya nilai tambah yang tidak dimiliki mahasiswa tempo dulu. Sudah sepatutnya gerakan mahasiswa difokuskan pada gerakan yang memanfaatkan produk digital sebagai media utama, bukan malah mengikuti metode lama yang jelas-jelas sudah tidak punya efektif lagi dalam mempengaruhi kebijakan.
Mahasiswa punya peluang lebih luas memanfaatkan internet untuk mengembangkan literasi yang selama ini sering diabaikan. Inovasi-ivovasi dalam pemanfaatkan media sosial sebagai media diskusi, pemberantasan hoax serta meningkatkan capaian mahasiswa tentang betapa pentingnya menuangkan gagasan lewat tulisan bagi saya kurang tersentuh.
Mahasiswa masa kini terlalu terbawa nostalgia dengan aksi demonstrasi mahasiswa di masa lalu yang hobi bawa-bawa spanduk, bakar ban, membuat macet jalan lalu pulang dengan perasaan bangga seolah sudah berbuat banyak untuk bangsa dan negara. Padahal melaksanakan kewajiban mahasiswa yang paling utama saja belum tentu dilaksanakan.
Kita bisa belajar pada mahasiswa tempo dulu pada aksi-aksi mereka, tapi bukan mengadaptasi mentah-mentah tanpa melihat situasi sosial saat ini yang mengalami banyak perubahan. Yang perlu dijadikan panutan dari mahaiswa tempo dulu seharusnya lebih letakan pada esensi dan semangat nasinalismenya terhadap negara.
Kini, teknologi informasi sudah disediakan dan kebebasan berpendapat sudah diwadahi oleh undang-undang. Apalagi lahirnya reformasi telah membuka keran kebebasan semakin luas. Jika saja pemanfaatkan internet dapat lebih dimaksimalkan dan sedikit demi sedikit meninggalkan gaya lama, saya meyakini bahwa mahasiswa bisa punya kontribusi yang lebih nyata.
Bila dijabarkan lebih mendalam, secara teknis pun, pemanfaatan internet bisa menekan cost yang harus dikeluarkan dalam beraspirasi. Sederhananya, demonstrasi pasti memerluarkan biaya. Berapa biaya yang harus dikeluarkan bermacam-macam. Yang jelas spanduk serta alat peraga demontrasi perlu dikeluarkan. Belum lagi harus membawa massa yang cukup banyak.
Yang tidak diharapan tentunya soal terganggunya akses jalan yang macet. Jika dibandingkan dengan produk internet yang sekarang ramai seperti penggunaan petisi online memang terasa sangat berbeda. Pembuatan sebuah petisi yang saat ini banyak dilirik orang-orang, cakupannya lebih luas. Bisa disebarkan tanpa mementingkan ruang dan waktu. Lebih dari itu, ada instagram, twitter atau facebook untuk membuka peluang publikasi yang lebih luas. Seiiring dengan itu, cepat atau lambat media mainstream pun akan menyorot gerakan itu dengan sendirinya.
Apa dengan begitu, aksi demonstrasi menjadi usang dan harus ditinggalkan? Tidak juga. Sesekali atau bahkan dalam aksi-aksi tertentu demonstrasi perlu dan harus dilakukan. Sebab ada beberapa aksi yang spiritnya lebih menekan dibandingkan aksi lewat digital. Hanya saja intensitasnya tidak dijadikan opsi utama.
Poin terpenting yang ingin saya sampai dalam tulisan ini adalah aksi mahasiswa tidak melulu mengutamakan demo sebagai senjata terakhir, tetapi mahasiswa perlu sadar pada pilihan-pilihan pergerakan yang lebih luas agar nantinya aksi-aksi mahasiswa tidak sekedar jadi seremonial belaka. Apalagi sampai jadi alat dari kaum elit untuk menggiring opini masyarakat. Tentu SBY pun akan merasa sedih, gundah gulana menuliskan curhatannya di Twitter.
sumber: realitarakyat.com
Mahasiswa Demo Lagi, Lagi dan Lagi
Reviewed by DAFFA ARDHAN
on
Kamis, September 20, 2018
Rating: 5
Langganan:
Postingan
(
Atom
)