Belajar Mandiri di Kota Kelahiran Sendiri
Ada banyak stereotipe di kalangan mahasiswa. Salah satunya stereotipe tentang mahasiswa perantauan dan mahasiswa pribumi.
Disebutkan kalau mahasiswa atau anak rantau itu dianggap mandiri dan anak pribumi alias mahasiswa yang kuliah di kota sendiri dianggap tidak bisa mandiri.
Anak rantau dianggap lebih bisa survive karena hidup di kota orang. Ada situasi dan kondisi yang menyebabkan mereka harus mengerjakan semuanya sendiri.
Sedangkan mahasiswa pribumi menjalani kehidupannya kurang lebih sama seperti anak SMA. Dari soal makan, uang jajan dan segala kebutuhannya sudah disediakan orang tua. Karena merasa tidak ada tantangan, anak pribumi dianggap tidak punya kemampuan mandiri sehingga identitas manja, childish dan seterusnya disematkan pada diri mereka.
Kenyataan tidak semua seperti itu. Tidak semua anak rantau mandiri dan tidak semua anak pribumi tidak mandiri. Tergantung bagaimana karakter mahasiswanya sendiri.
Ada loh yang bertahun-tahun merantau tapi sikap dan prilakunya tidak jauh berbeda dengan mereka yang masih duduk di bangku SMA. Saya punya teman seperti itu soalnya.
Yang membedakan dia sebelum dan sesudah merantau hanya sebatas jauh dari orang tua. Selebihnya, semua kebutuhannya masih dicekoki orang tua. Sebenarnya itu tidak masalah. Itu hak orang tua mau mendidik anaknya seperti apa. Tapi jika sejak awal niatnya ingin mandiri, ya jadi percuma karena semua serba 'disuapi'.
Kalau segalanya serba dipenuhi melebihi apa yang sebetulnya bisa dikerjakan sendiri, ya apa bedanya mereka ketika masih zaman-zaman sekolah.
Kita tidak bisa memungkiri, diluar sana banyak mahasiswa yang berhasil mandiri karena merantau dari kota kelahirannya. Tapi bukan berarti, dengan begitu mendiskreditkan mahasiswa pribumi yang masih tinggal bersama orang tua.
Saya pikir satu jalan terbaik untuk belajar kemandirian memang harus dilakukan dengan hidup jauh dari orang tua. Saya setuju itu. Dan saya pun sangat tertarik melakukannya.
Ketika 3 tahun yang lalu saya lulus SMA, orang tua memberi kebebasan saya untuk kuliah dimana saja. Kuliah di kota sendiri, boleh. Kuliah di luar kota, ya silahkan. Orang tua tidak pernah menuntut saya mau masuk jurusan dan kampus mana.
Lalu saya berpikir seperti kebanyakan orang, kalau saya harus merantau. Alasannya sama: saya ingin belajar mandiri. Tapi karena satu dan lain hal, saya harus menutup mimpi itu. Saya punya prioritas lain yang saya rasa lebih urgent.
Ayah saya merantau, kakak saya semejak menikah sudah tidak tinggal lagi di rumah, adik saya masih kecil dan ibu saya sering sakit-sakitan. Jadi kami di rumah hanya tinggal bertiga: saya, adik dan ibu. Jadi saat itu saya merasa ada di situasi yang dilematis.
Saya ingin merantau tapi tak segan kalau harus meninggalkan ibu dan adik saya. Saya tidak mau kalau ada apa-apa dengan ibu saya. Saya tidak cukup yakin adik saya bisa melakukan segala sesuatunya sendiri.
Akhirnya saya memutuskan untuk kuliah di kota kelahiran saya sendiri. Mimpi untuk jadi anak perantauan saya urungkan. Awalnya saya berpikir saya tidak bisa survive untuk jadi pribadi yang mandiri. Setelah bertahun-tahun, kenyataannya tidak seburuk yang dipikirkan.
Sebagai mahasiswa pribumi, saya cukup percaya diri untuk mengatakan, mandiri itu hanya soal bagaimana sikap kita pada diri sendiri. Memupuk kemandirian tidak selalu mesti jadi anak rantau. Karena sejauh ini, saya berusaha memenuhi segala kebutuhan saya tanpa selalu bergantung pada orang tua.
Mungkin kondisi keluarga saya yang juga berpengaruh pada nilai-nilai kemandirian yang ingin saya jalankan. Lantas, bagaimana mempraktekkan nilai-nilai kemandirian disaat semua kebutuhan dan sebagian keinginan kita sudah terpenuhi?
Jawabannya, saya punya batasan-batasan yang tidak boleh dilanggar. Batasan ini berupa peringatan atau rem pada diri saya agar tidak berprilaku sebagai seseorang yang terlalu bergantung pada orang tua.
Saya tidak mengatakan saya 100% mandiri. Saya hanya ingin menceritakan bahwa kita ini bisa mandiri meski berada di lingkungan yang tidak menuntut kita mandiri.
Misalnya saya kasih contoh. Jika kita adalah orang yang datang dengan segala privilage-nya atau terlahir di keluarga yang ekonominya tinggi, terlanjur hidup enak dan segala yang diinginkan bisa terpenuhi.
Untuk melangkah pada kemandirian, kita memang harus tahu batasan bahwa apa-apa yang diberikan orang tua tidak boleh langsung diterima. Atau segala sesuatu yang ditawarkan orang tua tidak langsung di-iya-kan begitu saja. Ya itu contoh kasar yang terlalu luas mungkin ya.
Oke saya kasih contoh yang saya lakukan selama ini. Dari dulu saya ingin mencoba sesuatu yang menuntut saya mandiri. Maka dari itu saya mulai mengurangi meminta sesuatu yang syaratnya terlalu mudah.
Saya punya smartphone. Tapi smartphone yang saya punya bukan sekedar hasil meminta dari orang tua saja. Yang saya lakukan seperti ini. Saya sisihkan sebagian uang jajan, sebagian lagi hasil jerih payah saya sendiri, yaitu dari honor saya nulis.
Kemudian uang itu saya kumpulkan. Ketika uangnya dirasa masih kurang, barulah saya minta sedikit tambahan sisanya dari orang tua. Itu juga saya lakukan ketika saya ingin membeli sesuatu seperti laptop, gadget-gadget lainnya.
Dalam masalah pekerjaan rumah, mungkin sedikit unsur keterpaksaan di awal-awal. Lagipula, keluarga kami sudah tidak mempekerjakan pembantu atau ART.
Ditambah lagi ibu saya sampai saat ini lumayan sering sakit-sakitan, jadi saya terkadang mengerjakan pekerjaan rumah dari mulai nyapu, ngepel, nyuci baju, nyetrika, semuanya sendiri.
Ditambah lagi ibu saya sampai saat ini lumayan sering sakit-sakitan, jadi saya terkadang mengerjakan pekerjaan rumah dari mulai nyapu, ngepel, nyuci baju, nyetrika, semuanya sendiri.
Meski awalnya terpaksa, tapi lama-lama jadi kebiasaan. Jadi ketika ibu saya sedang sehat sekalipun, saya masih membantu beliau. Paling tidak berbagi tugas saja.
Misalnya ibu yang nyuci baju, saya yang nyuci piring, dan adik saya pun ikut membantu mengepel atau menyapu. Pekerjaan rumah jadi terasa tidak berat karena kami semua berbagi tugas.
Bagi saya itu contoh-contoh kecil yang mungkin bisa di terapkan semua orang. Sebenarnya banyak hal bisa dilakukan bagi usia-usia muda seperti saya, terutama yang saya singgung disini adalah soal mahasiswa yang kebetulan tidak merantau dan ingin belajar mandiri.
Apa kalian punya cara tersendiri untuk bisa belajar mandiri? Bisa kalian share ya di komentar.
Foto: terasjabar.id
Belajar Mandiri di Kota Kelahiran Sendiri
Reviewed by DAFFA ARDHAN
on
Rabu, Juli 10, 2019
Rating: 5