Dilema Menjadi Politisi
Tsamara Amany (kiri) dan Faldo Maldini (kanan) |
Usia memang bukan faktor penentu seorang politisi mampu bekerja atau tidak. Semua dikembalikan lagi kepada kompetensi dan integritas.
Tapi satu hal yang jadi pembeda mereka dengan politisi kolot adalah soal pola pikir yang lebih adaptif dalam menerima pemikiran baru.
Bagi saya, politisi muda punya semangat yang lebih berapi-api dan keidealisan yang tinggi jika memang punya itikad baik dalam mengurusi hajat hidup orang banyak.
Terlebih kepada politisi muda yang tidak punya background politik. Atau mereka yang tidak punya privilege dan terlahir dari keluarga yang sudah punya nama. Karena hal itu bisa jadi modal dasar untuk mendongkrak elektabilitas seorang politisi.
Saya sangat tertarik pada politik. Itulah kenapa di tempat saya berkuliah, saya mengambil jurusan ilmu politik. Namun setertarik-tariknya saya dengan politik, tidak terlintas di pikiran saya untuk terjun ke politik praktis.
Selain karena masih terlalu dini, tidak punya modal sosial dan finasial, cupu, serta minim pengalaman, ada pertimbangan logis yang dilematis.
Saya membayangkan jika saja saya jadi politisi, saya akan punya beban yang lebih berat dalam menyampaikan opini-opini saya terhadap politik.
Sebab ketika berbicara di ruang publik, saya tidak hanya berbicara atas nama saya, tapi atas nama partai, serta atas nama kelompok yang mendukung saya.
Sedangkan, jika saya bukan politisi, saya berperan sebagai masyarakat biasa yang tidak ikut serta mengurusi pemerintahan. Dari apa yang saya perhatikan, faktanya memang begitu.
Misalnya politisi muda seperti Tsamara terlihat lebih kalem dalam menanggapi beberapa isu yang ramai diperbincangkan masyarakat maya.
Sebab saya menduga mereka sadar posisi mereka ada dimana. Mereka tidak bisa terlalu vokal terhadap pemerintah karena bisa "mengancam" partainya.
Mereka tahu partainya mendukung pemerintah. Dan ketika ada kebijakan yang bertentangan dengan rakyat, mereka tidak bisa berisik ke pemerintah karena partainya berdiri dalam satu barisan.
Itu bukan terjadi pada Tsamara saja. Saya rasa banyak politisi, tua dan muda, atau pun yang kita lihat punya keidealisan yang tinggi sekali pun akan melakukan hal yang serupa. Meskipun tidak menutup kemungkinan seorang politisi beserta partainya bisa mengkritik dari dalam.
Contoh kasus yang bisa jadi acuan saya adalah kontroversi revisi RUU KPK. Tsamara dan partainya cenderung santai dalam menanggapi isu yang justru sedang di tentang banyak masyarakat.
Maksud santai saya disini bukan berarti tidak besuara ya. Hanya saja suaranya tidak selantang menolak isu-isu yang memang antara PSI dan pemerintah kompak mendukung, seperti RUU PK-S misalnya.
Saya membayangkan, ini akan jadi dilema politisi sendiri ketika misalnya mereka pro sini, tapi partainya pro sana. Akhirnya jalan yang ditempuh adalah memilih diam dan tidak bersuara saja. Kalaupun nanti ditanya oleh media, kurang lebih jawabannya akan terkesan kaku dan diplomatis.
Dilema politisi selanjutnya adalah soal cost atau biaya yang harus keluar dari kantong pribadi mereka. Akan jadi masalah jika politisi mengharapkan cost tersebut bisa berbuah manis dalam jumlah yang lebih besar.
Padahal, menjadi politisi seyogyanya harus idealis, tidak gelap mata dengan uang dan jabatan. Terutama harus siap dengan konsekuensi finasial.
Perlu diakui karena budget untuk sekali nyalon saja mahal, maka menyiapkan materi dalam jumlah yang besar menjadi wajib dikeluarkan. Dan yang pasti harus siap rugi dan "miskin". Miskin dalam arti rela tidak balik modal kalau kalah ataupun memang sekalipun.
Padahal, menjadi politisi seyogyanya harus idealis, tidak gelap mata dengan uang dan jabatan. Terutama harus siap dengan konsekuensi finasial.
Perlu diakui karena budget untuk sekali nyalon saja mahal, maka menyiapkan materi dalam jumlah yang besar menjadi wajib dikeluarkan. Dan yang pasti harus siap rugi dan "miskin". Miskin dalam arti rela tidak balik modal kalau kalah ataupun memang sekalipun.
Politisi itu sebetulnya pekerjaan yang mulia karena jika dilaksanakan dengan baik dan benar (tidak korupsi, kolusi dan nepotisme), tidak ada keuntungan materi yang bisa didapat.
Bayangkan saja, kita mengeluarkan uang, sudah pasti uang itu tidak akan kembali dalam jumlah yang sama bahkan lebih. Memgeluarkan uang yang besar untuk berpolitik bukan seperti menanam deposito atau saham yang suatu saat akan profit.
Bayangkan saja, kita mengeluarkan uang, sudah pasti uang itu tidak akan kembali dalam jumlah yang sama bahkan lebih. Memgeluarkan uang yang besar untuk berpolitik bukan seperti menanam deposito atau saham yang suatu saat akan profit.
Sudah banyak orang diluar sana pernah menghitung kira-kira berapa banyak uang yang bisa didapatkan kalau mereka jadi politisi. Jawabannya tidak ada. Bahkan balik modal pun tidak.
Jadi jika sejak awal tujuannya ingin mengabdi pada bangsa dan negara, politisi tidak perlu menghitung lagi uang yang sudah dikeluarkan untuk membiayai kampanye beserta tetek bengeknya.
Namun jika mereka masuk politik ingin cari untung, korupsi memang semacam jalan terakhirnya. Karena mengandalkan gaji dan tunjangan ternyata masih belum surplus besar.
Namun jika mereka masuk politik ingin cari untung, korupsi memang semacam jalan terakhirnya. Karena mengandalkan gaji dan tunjangan ternyata masih belum surplus besar.
Ya, itu sudah resiko jadi politisi kok. Kalau mau kaya raya ya silahkan jadi pengusaha atau jadi investor. Jangan cuma ikut-ikutan masuk politik, bukannya bikin bangsa maju malah menghancurkan negeri ini perlahan-lahan. Ya, kan?
Foto: Tribunnews
Dilema Menjadi Politisi
Reviewed by DAFFA ARDHAN
on
Rabu, Oktober 02, 2019
Rating: 5