Hidup untuk Makan atau Makan untuk Hidup?
Ada satu bagian dalam buku Filosofi Teras yang cukup menyentil saya. Di buku itu menyebutkan bahwa prilaku orang-orang zaman sekarang yang menghabiskan sebagian besar pikirannya hanya untuk makanan. Dan kenyataannya itu memang terjadi, termasuk pada saya.
Saya termasuk herbivora, pemakan segala. Tidak pilih-pilih makanan. Oleh karena itu saya merasa bisa menghemat pengeluaran. Karena prinsip saya makan itu yang penting kenyang dulu, sehingga saya tidak tertarik mencoba makanan yang sedang tren. Makan telor mata sapi saja tidak masalah.
Tapi itu dulu. Semenjak di racuni oleh kebiasaan kakak dan adik saya yang hobi kulineran, prinsip saya soal 'makan itu untuk hidup', sekarang berubah menjadi 'hidup itu untuk makan'.
Padahal, saya tahu kalau hakekat dari makan adalah mengisi perut supaya manusia bisa bertahan hidup. Kalau tidak makan, ya mati.
Tapi sekarang, makanan sudah jadi cara seseorang untuk melanggengkan gaya hidupnya. Dari mulai menunjukan standar sosialnya, cari afirmasi dari orang lain, atau kebutuhan update di instagram.
Semenjak berburu kuliner jadi sesuatu yang disukai banyak orang, saat itu juga pikiran hanya dipenuhi, "Mau makan apa ya sekarang? " atau "Makan apa ya yang enak." Sedikit sekali ada orang yang makan ya makan saja, tidak terlalu mementingkan apa yang di makan. Tentu saja dengan catatan makanannya tetap sehat ya.
Orang zaman sekarang makan dengan tujuan mencari kesenangan, bukan hanya mencari kenyang. Maka dari itu, makanan harian seringkali pilih-pilih. Dipilih yang menurutnya paling nikmat.
Kalau lagi diet, cari yang rendak lemak, tapi diusahakan agar tetap enak. Jika mau pansos di instagram, cari makanan yang instagramble lengkap dengan tempat kekinian.
Dengan banyaknya penggemar makanan-makanan up-to-date, prinsip 'makan untuk hidup' menjadi tidak populer. Coba bayangkan orang zaman purba dulu. Mereka makan dengan cara berburu, lalu di santap tanpa bumbu.
Lambat laun makanan mulai menemukan kekhasannya. Maka muncullah makanan khas di tiap negara yang mengalami punya berbagai varian rasa dan cara pembuatannya. Makin kesini, makanan semakin mengalami perubahan yang drastis.
Makanan tidak lagi terbatas oleh letak georafis sebuah negara. Orang Amerika bisa menyukai makanan khas jepang, Sushi. Orang indonesia bisa lahap menyantap pizza, burger, pasta yang mana datang dari Eropa. Lidah semua orang bisa menyesuaikan dengan cepat dengan lidah orang asing. Siapa yang menyangka semua nya akan seperti ini?
Kabar buruknya, terlalu banyaknya variasi makanan tidak berbanding lurus dengan faktor kesehatan. Makanan yang beraneka ragam yang kita makan belum tentu sehat.
Popularitas fastfood yang luar biasa enak itu justru perlahan membunuh kesehatan kita.
Sebetulnya, sulit untuk merubah cara kita melihat makanan yang sudah terlanjur menemukan zona nyamannya. Apalagi kalau di dalam mindset kita sudah tertanam bahwa makanan sumber kebahagiaan. Tidak mungkin bagi kita kembali pada zaman purba dimana makan sebatas mengisi perut saja.
Oleh karena itu, di tengah banyaknya variasi makanan, penting bagi kita perlu belajar menahan diri. Atau setidaknya mau meminimalkan makanan yang beragam itu. Mulailah untuk bisa makan seadanya. Dalam arti, konsumsilah makanan yang tidak perlu neko-neko, tapi tetap sehat.
Hindari makanan instan yang biasanya mengandung perwarna dan pengawet. Kurang-kurangi makanan yang banyak mengandung gula atau garam berlebih meskipun perlu disadari kenikmatannya sudah bikin saya gila.
Namun sebagai orang yang suka berhemat, tentu saja saya masih bisa menahan. Meskipun sesekali saya juga kebablasan Meskipun saat ini saya cukup tergila-gila dengan berbagai macam kuliner, tapi saya sudah sangat bisa menguranginya.
Saya sangat mengapreasasi ketika ada segelintir kecil orang yang sadar bahwa prinsip 'hidup untuk makan' itu tidak bisa dibenarnya sepenuhnya.
Kita bisa makan tanpa muluk-muluk ingin makanan tertentu. Dan saya rasa kalau kita sudah bisa melakukan hal itu, selain kesehatan lebih terjaga, kita pun belajar soal kesederhanaan dalam melihat sebuah makanan.
Hidup untuk Makan atau Makan untuk Hidup?
Reviewed by DAFFA ARDHAN
on
Kamis, April 23, 2020
Rating: 5